Kamis, 17 Desember 2009

KOMPARASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DI PEGUNUNGAN YUNNAN (CHINA) DAN GUNUNG BETUNG LAMPUNG (INDONESIA)

KOMPARASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT
DI PEGUNUNGAN YUNNAN (CHINA) DAN
GUNUNG BETUNG LAMPUNG (INDONESIA)

oleh
Harry Kurniawan
071201001
Manajemen Hutan




PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2009



PENDAHULUAN


Latar Belakang
Pentingnya hutan terhadap kesejahteraan masyarakat tersebut sudah semestinya menjadi perhatian yang sangat serius oleh pemerintah khususnya dan masyarakat luas umumnya, sehingga perlu adanya sistem yang menangani agar tetap menjaga kelestarian hutan,namun juga tidak mengindahkan kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitar hutan khususnya serta masyarakat luas umumnya. Sistem tersebut melibatkan peran serta langsung masyarakat dengan didampingi oleh pihak pemerintah dalam hal pengelolaan hutan yang ada disekitar mereka. Sistem tersebut dinamakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), perkataan berbasis masyarakat mempunyai makna bahwa dalam banyak istillah yang digunakan oleh banyak pihak yang selama ini mendorong akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan, yaitu community forestry , social forestry, farm atau atau agro forestry, Kehutanan Masyarakat, Sistem Hutan Kerakyatan, Hutan Kemasyarakatan dan lain-lain.
Istilah Kehutanan Sosial (Social Forestry) sudah muncul sejak tahun 1978 ketika Kongres Kehutanan Sedunia Ke-8 dilaksanakan di Jakarta dengan tema besar Hutan untuk Rakyat (Forest for People). Pada awal social forestry diperkenalkan sebagai bentuk dari pemikiran “berbasis masyarakat”, sering mengacu kepada bentuk kehutanan Industrial (konvensional) yang dimodifikasi untuk memungkinkan distribusi keuntungan kepada masyarakat. Sedangkan community forestry lebih menekankan bahwa kehutanan harus dikontrol oleh masyarakat lokal (Gilmour dan Fisher, 1991 dalam Studi Kolaboratif FKKM 2000). Social Forestry umumnya digunakan sebagai istilah payung yang mencakup program-program dan kegiatan kehutanan yang sedikit atau banyak melibatkan peranan masyarakat atau rakyat lokal, atau dikembangkan untuk kepentingan masyarakat banyak. Dalam hal ini status lahan (lahan umum atau lahan milik individu) dijadikan dasar untuk membedakan praktik social forestry yang beragam.
Hutan sebagai fungsi sosial adalah sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diijinkan.
Sebagai fungsi sosial, hutan memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumberdaya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan produksi yang lestari.

Tujuan
Adapun tujuan pembuatan tugas ini adalah
1. Untuk mengetahui pengolahan hutan kemasyarakatan di dalam dan luar negeri
2. Untuk mengetahui komparasi hutan sosial di dalam dan di luar negeri




KONDISI UMUM

* Kondisi Umum Hutan di Pegunungan Yunnan (China)
Propinsi Yunnan, terletak di barat daya Cina, terhubung dengan Guangxi, Guezhou dan provinsi Sichuan atau daerah otonom di timur dan utara, dan berbatasan di Vietnam, Laos, dan Burma di selatan dan barat daya, mencakup bidang total 394, ooo kilometer persegi dihuni oleh penduduk dari 40 juta, dan 127 kabupaten atau kotamadya. Sebagai provinsi pegunungan khas, Yunnan memiliki jangkauan ketinggian dari yang tertinggi 6.740 m di barat laut dan yang terendah 76,4 m di tenggara tetapi rata-rata ketinggian sekitar 2000 m.
Daerah pegunungan account 94% dari total luas areal, dan 6% nya adalah lembah dataran. Secara umum, sebagian besar daerah di Yunnan memiliki cuaca subtropis dengan dua musim: musim kemarau di musim dingin dan musim hujan di Musim Panas, di bagian selatan provinsi dan beberapa lembah-lembah sungai, terdapat tipe iklim tropis. Yunan memiliki keberagam topografi dan kondisi cuaca yang menyediakan habitat yang berbeda untuk berbagai tipe vegetasi dengan lebih dari 17.000 spesies tanaman yang lebih tinggi di provinsi ini.
Di sisi lain, di antara 40 juta penduduk, 70% dari penduduk hidup di daerah pegunungan, dan hanya seluas 2,8 juta ha yang cocok untuk tanaman budidaya, yang 67% terletak di daerah pegunungan. Karena masih memakai system pengelolaan hutan secara tradisional , maka masih banyak didapati kekurangan informasi dan sulitnya transportasi, serta populasi penduduk yang terus meningkat cepat sehingga adanya penurunan sumber daya hutan, kerusakan lingkungan dan kehidupan petani di bawah standar di beerapa pegunungan daerah.

*Kondisi Umum Hutan di Gunung Betung Lampung Selatan (Indonesia)
Gunung betung memiliki iklim tipe A, dengan kelembaban sepanjang tahun. Dan memiliki curah hujan berkisar antara 2.257 – 2.454 mm/tahun. Jumlah hari hujan 76-166 hari/tahun. Kelembaban udara berkisar 60-85%, dan suhu udara 23-37°C. Kecepatan angin berkisar 2,78-3,80 knot dengan arah dominan dari Barat (Nopember-Januari), Utara (Maret-Mei), Timur (Juni-Agustus), dan Selatan (September-Oktober).
Mayoritas penduduk (85%) yang hidup di daerah ini hanya mengandalkan dari sektor pertanian (atau sebagai petani). Hal ini menunjukkan bahwa keterikatan masyarakat dengan lahan di kawasan hutan sangat tinggi. Ketergantungan masyarakat sekitar hutan terhadap hutan juga nampak pada sedikitnya jumlah penduduk (10%) yang bekerja di bidang non petani seperti sebagai buruh, membuka warung kecil di rumah, tukang kayu, tukang batu, berdagang hasil pertanian, wiraswasta (membuka pabrik penggilingan kopi), menyadap aren berternak ayam secara tradisional, tukang ojek.
Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa kegiatan di sektor pertanian, merupakan tumpuan hidup sebagian besar keluarga di daerah ini. Kegiatan usaha di bidang pertanian sebagai upaya untuk menjamin keperluan hidup keluarga, dilakukan melalui produksi subsisten. Meskipun sudah mulai ada perkembangan ke arah diversifikasi usaha (meskipun sangat terbatas), namun kegiatan ekonomi ini juga masih dalam batas produksi subsisten. Sudah menjadi suatu kebiasaan masyarakat bahwa berbagai usaha untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dilakukan melalui distribusi tugas rumah tangga antara suami, istri, dan anak-anak, serta keluarga yang tinggal serumah. Potensi tenaga kerja keluarga yang tersedia seringkali merupakan faktor pembatas bagi luas lahan yang diolah dan menghambat intensitas usaha. Tenaga kerja upahan jarang dipakai, karena keterbatasan kemampuan keluarga dan karena luas lahan yang diolah sudah cukup dikerjakan dengan tenaga kerja keluarga sendiri saja. Kadang-kadang anggota keluarga petani kecil dalam waktu tertentu bekerja di luar usaha sektor pertanian keluarga, agar dapat membantu menambah penghasilan keluarga (misalnya dengan berdagang pakaian, sepatu, sandal, tas, dompet).






MODEL PERHUTANAN SOSIAL

* Model Kehutanan Masyarakat di Pegunungan Yunnan (China)
Meskipun produksi kehutanan memiliki karakteristik siklus hidup panjang dan menghasilka keuntungan yang lama, tetapi jika pengelolaan yang diterapkan adalah tumpangsari, maka kelemahan dari siklus yang panjang dan lama mendapatkan keuntungan dapat dihndari.
Salah satu bentuk pengeloaan hutan di daeah pegunungan Yunnan adalah pengembangan tanaman kenari di Yangbi oleh masyarakat, yaitu dengan cara :
- pembuatan rencana terpadu pengembangan berdasarkan klasifikasi umum tanah dan kondisi fisik dan sosial ekonomi.
- pemilihan jenis dan standarisasi khusus penanaman: Rencana & desain, benih dan bibit, kerapatan dan ukuran, dan manajemen dll
- pembangunan basis, meningkatkan masukan dan ditingkatkan pada skala mengelola
- peningkatan penggunaan lahan dan sistem agroforestry seperti tanaman-pohon,
- peningkatan, hutan-tanaman obat dll
- peningkatan sistem manajemen, memperkenalkan sistem kontrak
- tanggung jawab dan penghargaan dan hukuman
- pengembangan industri hasil hutan, melaksanakan rencana "satu kota, satu varietas atau spesies, satu produk. "
Yunnan memiliki keuntungan yang luar biasa untuk mengembangkan pariwisata . Pada tahun 1994, ada adalah 22 taman hutan nasional dan hampir 10 cagar alam terbuka untuk orang luar. Jadi banyak hutan yang berada si sekitar pegunungan Yunnan digunakan sebagai areal wisata dengan memberdayakan masyarakat sekitar, demi menjaga keutuhan hutan di Yunnan.
Pengembangan daerah hijau di sekitar gunung Yunnan adalah sebagai metode penyelesaian krisis energi di pedesaan, serta meningkatkan lingkungan ekologidalam pembangunan gunung Yunnan. Dalam pengelolaannya harus didasarkan pada status sumber daya kehutanan, lokal kondisi fisik dan sosial ekonomi, kebutuhan masyarakat lokal untuk sumber daya kehutanan dan lain-lain untuk membuat rencana untuk mengembangkan hutan perkebunan seperti kayu, dan pohon buah-buahan, agar melindungi hutan.

* Model Kehutanan Masyarakat di Gunung Betung Lampung Selatan (Indonesia)
Penduduk yang bertempat tinggal bersama di sekitar kawasan hutan Gunung Betung, hanya sedikit memiliki lahan garapan di luar kawasan hutan. Sehingga mereka memiliki ketergantungan secara ekonomi atas sumber daya hutan lindung yang ada di sekitarnya. Ketergantungan penduduk terhadap sumber daya hutan Gunung Betung dapat dilihat dari dua hal, pertama sumber pendapatan utama penduduk berasal dari hasil yang diperoleh dari kebun garapan mereka di kawasan hutan, kedua mayoritas penduduk tidak memiliki lahan garapan di luar kawasan hutan, kecuali lahan yang dipergunakan untuk pemukiman, terbentuk komunitas lokal/setempat yang terdiri dari berbagai suku bangsa (Sunda, Jawa, Palembang, Lampung).
Keadaan ini menunjukkan adanya ketergantungan masyarakat terhadap hutan lindung sangat tinggi. Keberadaan hutan lindung sangat bermanfaat bagi masyarakat, mereka mendapatkan berbagai sumber kehidupan untuk mempertahankan kehidupan mereka. Oleh sebab itu program Hutan Kemasyarakatan yang memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk mengelola hutan sangat disambut dengan antusias, meskipun dengan beban yang tetap harus memperhatikan kelestarian hutan. Yang menarik adalah sebanyak 48% yang menguasai lahan berasal dari warisan, 50% menguasai lahan yang diperoleh bukan karena warisan, dan 2% yang masih hidup dari lahan milik orang tua. Cara untuk memperoleh lahan dilakukan dengan beberapa cara, sebagaimana kebiasaan masyarakat yang berasal dari daerah asalnya, sebagian besar masyarakat di sekitar Gunung Betung memperoleh tanah dengan cara warisan. Pada umumnya mereka masih mempergunakan sistem kekeluargaan bilateral, yang sudah ada jaminan agar tanah terbagi secara merata diantara anak tanpa menghiraukan jenis kelamin anak. Kecenderungan pewarisan tanah tanpa melihat status tanah akan berakibat pada penurunan kualitas hutan. Masyarakat di sekitar Gunung Betung selama ini melakukan pewarisan tanah tidak hanya pada tanah di luar hutan lindung, namun juga yang ada di dalam kawasan hutan lindung.
ASPEK DAN DAMPAK


Aspek
* Aspek Kehutanan Masyarakat di Pegunungan Yunnan (China)
Di daerah pegunungan, hutan tidak hanya menyediakan kayu bakar, kayu untuk bangunan rumah dan pembuatan mebel, tetapi juga sumber utama makanan, pakan ternak, pendapatan dan lain-lain. Dalam periode pendek pasokan biji-bijian, petani mengambil berbagai tunas liar, daun, bunga, buah dan akar di hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga. Pada musim hujan, mereka mengumpulkan jamur di hutan untuk dikonsumsi keluarga atau yang dijual ke pasar lokal. Selain itu, masyarakat setempat mengambil feed untuk ternak dan tanaman obat untuk mengobati jenis penyakit. Sementara itu, di banyak tempat Yunnan, ada beberapa contoh yang menguntungkan petani dan menjadi kaya dengan menanam tanaman obat atau jamur di hutan.

* Aspek Kehutanan Masyarakat di Gunung Betung Lampung Selatan (Indonesia)
Kesalahan paradigma pembangunan kehutanan yang selama ini menjadi panutan kegiatan pembangunan kehutanan salah satunya adalah menganggap bahwa masyarakat sekitar hutan memiliki karakteristik yang sama seperti masyarakat lain. Akibatnya berbagai program pembangunan yang dirancang secara deduktif oleh pemerintah tidak banyak bermanfaat bagi masyarakat, bahkan banyak yang ditolak oleh masyarakat. Salah satu program yang dirancang pemerintah untuk melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan adalah program Hutan Kemasyarakatan (HKM). Program ini di satu sisi mengadopsi aspirasi banyak pihak termasuk pemerintah untuk melestarikan lingkungan dan juga aspirasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan.
Kenyataan yang ada selama in menunjukkan bahwa program pembangunan kehutanan yang dilakukan pemerintah tidak selalu melibatkan masyarakat local secara partisipatif dalam pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah bahkan sering kurang bersahabat, kurang tanggap dengan masyarakat local di sekitar hutan, di dalam upayanya untuk melestarikan hutan. Padahal sebagian besar masyarakat yang berdomisili di sekitar dan di dalam hutan telah beratus tahun secara turun temurun hidup dan mengetahui secara jelas tentang bagaimana cara mengelola hutan tanpa merusak, tanpa mengeksploitasinya. Selama in usaha pemerintah untuk memanfaatkan dan mengelola hutan belum menunjukkan saling keterkaitannya dengan kepentingan masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada hutan. Kelemahan in diasumsikan menjadi penyebab rendahnya tingkat keberhasilan pembangunan kehutanan di Propinsi Lampung.
Upaya penyelesaian berbagai kasus pertanahan di Propinsi Lampung hingga kini memang belum menampakkan hasil yang nyata. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya persoalan pertanahan yang belum terselesaikan hingga saat ini, bahkan seiring dengan masa reformasi in muncul berbagai permasalahan pertanahan yang baru. Bidang kehutanan permasalahan tentang kesempatan masyarakat setempat/lokal untuk bisa mengambil dan mengelola sumber daya produktif hutan, baru sebagian kecil yang sudah terselesaikan, dalam arti masyarakat mulai diberi kesempatan untuk mengambil dan mengelola sumber daya produktif hutan melalui program HKM (Hutan Kemasyarakatan). Program ini di satu sisi mengadopsi aspirasi banyak pihak termasuk pemerintah untuk melestarikan lingkungan, dan juga aspirasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan. Tulisan mengenai profil masyarakat di sekitar hutan Gunung Betung melihat kesesuaian program dengan kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakat setempat.
Perihal tingkat pendidikan keluarga pada masyarakat di daerah ini, mayoritas penduduk (70%) memiliki tingkat pendidikan sekolah dasar (SD), sementara itu sebanyak 25% berpendidikan SLTP, dan hanya 5% berpendidikan SLTA. Namun pada saat ini kondisinya telah banyak mengalami perubahan, menurut data terakhir (2006) telah ada beberapa anak yang telah sekolah keluar daerah, bahkan ada yang telah kuliah (baik di Bandar Lampung maupun di Bandung). Namun berdasarkan pengamatan di lapangan nampaknya tidak ada kaitan secara langsung antara tingkat pendidikan dengan jenis pekerjaan, tidak selalu seseorang yang telah memiliki tingkat pendidikan tinggi kemudian lepas atau keluar dari pekerjaan di bidang/sektor pertanian, demikian juga sebaliknya.

Dampak
* Dampak Kehutanan Masyarakat di Pegunungan Yunnan (China)
Perkebunan kenari telah dikembangkan sebagian besar dan punya efek yang sangat baik di kabupaten dan prefektur sekitarnya. Banyak petani telah menyingkirkan 'topi kemiskinan' dan telah diperkaya melalui pengembangan budidaya pohon kenari. Menurut survei di 17 prefektur di 1994, area total output dan pendapatan tahun kasus dan pohon buah perkebunan di Yunnan telah mencapai 812.000 ha, 781.4 juta kg, 1,3 miliar yuan masing-masing. Dalam situasi ini dan dikombinasikan dengan karakteristik dari kaya sumber daya dalam panas dan air, tanah kehutanan, dependensi yang lebih tinggi sumber daya kehutanan, memiliki beberapa pengalaman dan fundamental dalam budidaya pohon, skala yang besar perkebunan kenari membuat pemerintah Yunnan memberikan prioritas pembangunan kehutanan dan membuat rencana umum pengembangan kehutanan dan perkebunan pohon buah-buahan kas yang pendapatan kehutanan dan wilayah total kas dan pohon buah perkebunan akan mencapai 10 miliar yuan dan masing-masing 1.33 juta ha sampai 2000 dalam rangka untuk mengentaskan kemiskinan di pegunungan Yunnan.
Wisata Hutan tidak hanya membuat orang menjadi sehat, tetapi manfaat ekonomi jangka panjang dengan tidak perlu merusak pohon atau sumber daya lain jauh lebih baik dibandingkan dengan pemanenan kayu, kayu bakar atau mengambil jenis produk non-kayu. Sejak 1960-an, khususnya 1980-an, hutan wisata sebagai industri khusus yang muncul dengan cepat. Karena kaya sumber daya alam, pemandangan alam yang indah, adanya adat istiadat minoritas, Yunnan memiliki keuntungan yang luar biasa untuk mengembangkan pariwisata hutan. Sejak 1990 Yunnan pemerintah lebih memperhatikan pariwisata hutan. Hingga 1994, ada adalah 22 taman hutan nasional dan hampir 10 cagar alam terbuka untuk orang luar. Berdasarkan faktor-faktor seperti geologi, transportasi, akomodasi dan lain-lain, hutan pariwisata dikembangkan perlahan-lahan di bagian barat laut Yunnan termasuk di Dali dan Lijiang.

* Dampak Kehutanan MAsyarakat di Gunung Betung Lampung Selatan (Indonesia)
Persepsi, sikap dan perilaku yang eksploitatif terhadap hutan ini semakin menjadi-jadi ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia. Ada pendapat sebagian warga masyarakat yang menyatakan bahwa hutan menjadi tumpuan hidup masyarakat agar tetap bisa bertahan hidup, ketika terjadi krisis. Selain itu rusaknya hutan di sekitar Gunung Betung, menurut sebagian warga disebabkan karena adanya pembukaan hutan, namun tidak diikuti oleh penanaman kembali (reboisasi). Sebagian warga masyarakat mengatakan bahwa kerusakan hutan disebabkan karena menjadikan hutan sebagai areal perladangan, selebihnya menyatakan bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh erosi.
Pemahaman masyarakat yang sangat beragam mengenai keberadaan hutan dan fungsi hutan ini di satu sisi akan menjadi kekayaan bagi masyarakat yang bersangkutan, di dalam mengembangkan program Hutan Kemasyarakatan. Namun di sisi lain akan menjadi hambatan di dalam pengembangan program Hutan Kemasyarakatan. Hambatan untuk program Hutan Kemasyarakatan akan terjadi apabila pemahaman masyarakat tentang hutan dan fungsi hutan lebih terarah pada hutan sebagai tumpuan hidup, tanpa ada keseimbangan untuk melestarikannya. Untuk itu perlu diupayakan berbagai pembaharuan sosial agar persepsi masyarakat terhadap hutan dan fungsinya, mengarah pada tujuan program Hutan Kemasyarakatan.


PEMBELAJARAN

Metode yang digunakan dalam pengelolaan hutan di Pegunungan Yunnan adalah dengan penanaman pohon Kenari dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan. Dari hasil usaha masyarakat tersebut dapat menurunkan angka kemiskinan . selain dari penanaman pohon kenari masyarakat yang berada di daerah pegunungan Yunnan juga mengelola hutan wisata, dengan memanfaatkan pemandangan dan alam yang asri, dari pemanfaatan hutan wisata ini, hutan dapat terjaga kelestariannya. Pengelolaan hutan wisata ini telah mendapat dukungan besar dari pemerintah, sehingga pengelolaan hutan wisata oleh masyarakat dapat berjalan dengan lancar dengan banyaknya pengunjung yang secara langsung dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar pegunungan Yunnan.
Sedangkan metode yang digunakan dalam pengelolaan hutan di gunung Betung (Lampung Selatan) adalah dengan memanfaatkan daerah kawasan hutan lindung yang telah dimanfaatkan sebagai areal pertanian atau perkebunan oleh warga, pengelolaan hutan oleh masyarakat yang intensif atau tidak membuka areal baru sebagai areal perladangan. Adanya peran masyarakat dalam mengidentifikasikan, merumuskan, dan menerapkan berbagai alternatif pemecahan yang dihadapinya dapat menumbuhkan hubungan yang antara pemerintah dengan masyarakat sekitar guung betung yang berada dalam kawasan hutan lindung. Sehingga kesejahteraan masyarakat akan terjamin dengan adanya kehutanan masyarakat yang mendapat dukungan dari pemerintah tentang bagaimana meningkatkan ekonomi penduduk dengan mengelola hutan yang lestari secara intensif. Selain meningkatkan ekonomi, kerusakan hutan yang selama ini erus terjadi akan berkurang karena selama ini masyarakat terus mengambil hasil hutan dan menggarap lahan hutan untuk memenuhi keutuhan hidupnya. Dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif di dalam berbagai program kehutanan, maka masyarakat akan merasa memiliki (sense of belonging) yang tinggi. Oleh karena itu masyarakat setempat/lokal akan ikut bertanggungjawab secara aktif di dalam upaya untuk kebersihan program, di mana masyarakat setempat/lokal turut terlibat secara aktif.
Dari penjelasan di atas maka dapat diambil perbandingan antara hutan yang dikelola masyarakat di pegunungan Yunnan (China) dan di gunung Betung (Lampung Selatan) yaitu pada pengelolaan hutan di pegunungan Yunnan sudah banyak terealisasi dan menunjukkan dampak yang sangat positif, karena mampu menurunkan angka kemiskinan penduduk di sekitar hutan. Sedangkan pengelolaan hutan di gunung Betung masih membutuhkan banyak perbaikan, karena masih banyak masalah yang dihadapi dalam pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat.
Adapun hambatan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat di gunung Betung adalah persoalan pendapatan keluarga yang tidak pasti, budaya masyarakat yang memiliki kecenderungan hanya beradaptasi dan kurang menonjolkan adanya suatu pembaharuan, pewarisan lahan secara turun temurun lahan yang terletak di dalam kawasan hutan lindung, kebiasaan pewarisan lahan dengan cara dibagi ke ahli waris, dalam jangka panjang akan menjadi masalah tersendiri dalam pelaksanaan program kehutanan masyarakat, persepsi, sikap dan perilaku yang eksploitatif terhadap hutan. Sedangkan hambatan pada pengelolaan hutan di pegunungan Yunnan adalah belum adanya teknik yang baik dalam pengembangan tanaman baru yang sesuai dengan kondisi pegunungan Yunnan. Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat akan lebih baik dan lebih berjalan lancar di pegunungan Yunnan (China) daripada di gunung Betung (Indonesia), bila dilihat dari hambatan pelaksanaannya.
Adanya kebiasaan dan dukungan masyarakat dalam pengelolaan hutan yang lestari lebih tinggi dukungan massyarakat di pegunungan Yunnan daripada masyarakat di gunung Betung. Hal ini dilihat dari kebiasaan masyarakat di gunung Betung yang mengeksploitasi hutan untuk hidup, dan masih kurangnya kemauan untuk maju, sedangkan masyarakat yang berada di pegunungan Yunnan sudah mulai mempunyai kebiasaan menanam pohon di areal kosong dan areal kritis, jadi pembangunan hutan yang lestari lebih maju di pegunungan Yunnan daripada di gunung Betung.
Dukungan pemerintah dapat menjadi penentu berkembngnya pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Di Yunnan pemerintah memberikan dukungan lebih dalam pengembangan budidaya kenari, terlebih lagi dalam pengelolaan hutan wisata, yang merupakan sumber pendapatan Negara. Sedangkan di Indonesia, dukungan pemerintah masih sebatas teori, namun dalam prakteknya masih banyak penyelewengan demi tercapainya tujuan tertentu.



KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hubungan antara manusia dengan lingkungan sosial, serta dengan lingkungan fisiknya bersifat timbal balik. Selama ini tindakan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar hutan, dalam memanfaatkan hutan dilakukan melalui aturan-aturan tradisional yang mengandung nilai-nilai bagi kelestarian hutan. Para petani di desa-desa yang perbatasan dengan hutan, melihat hutan di sekelilingnya selain sebagai sumber penghidupan, juga sebagai cadangan bagi perluasan lahan usaha tani, saat terjadinya kerawanan struktural seperti pertumbuhan penduduk yang begitu cepat. Hutan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya juga merupakan sumber ketahanan pangan, karena masyarakat bisa mendapatkan pangan, makanan ternak, kayu bakar, pekerjaan pada sektor kehutanan, obat-obatan/ramuan tradisional untuk kesehatan mereka. Semua itu untuk memperoleh persediaan pangan di dalam rumah tangga, serta pendapatan keluarga sehingga status gizi keluarga dapat terpenuhi.
Dalam pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat di gunung Betung masih banyak hal yang harus dibenahi seperti kebiasaan masyarakat mengeksploitasi hutan tanpa memikirkan akibatnya, dan pewarisan tanah yang berada di kawasan hutan lindung. Selain dari sisi masyarakat, pemerintah juga harus mengambl kebijakan yang benar dalam pengelolaan hutan ini, sebab banyak sudah peraturan yang dibuat namun banyak yang tidak dijalankan, maka perlu adanya penegakan hukum.
Ada baiknya masyarakat gunung Betung dalam mengelola hutan melihat dan meniru kebiasaan masyarakat yang berada di sekitar pegunungan Yunnan, yang giat dalam mengembangkan ekonominya demi mengentaskan kemiskinan di daerahnya, dimana dalam pengelolaannya masyarakat memiliki kesadaran akan fungsi hutan baik dari segi ekonomi dan segi ekonomi yang diterapkan dengan kebiasaan masyarakat dalam memanfaatkan areal kosong dan kritis untuk ditanami pohon yang berguna untuk masyarakat.

Saran
Adapun saran untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini adalah tercapainya hubungan yang baik antara pemerintah dengan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan hutan. Sehingga dalam pelaksanaannya tidak ada timpangtindih masalah pengelolaan. Selain itu peraturan dan kebijakan pemerintah yang mementingkan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat mendkung tercapainya pengelolaan hutan yang lestari, sebab dengan demikian masyarakat merasa mamiliki hutan dan terus menjaganya untuk kesejahteraan hidupnya.




DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1999. Cases on the integrated mountain development of Yunnan Lai Qingkui Social Forestry Division, Department of Forestry, Kunming, P.R. China .Sumber : http://mtnforum.org/oldocs/158.pdf.

Hadikusuma, Hilman, dkk. Adat Istiadat Daerah Lampung. Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Lampung. Bandar Lampung. 1996.
Harsono, TB. Profil Masyarakat di Sekitar Hutan Gunung Betung Kelompok Pengelola dan Pelestarian Hutan Lampung Selatan. Sumber : (http://bpsnt-bandung.blogspot.com/2009/07/profil-masyarakat-di-sekitar-hutan.html)

Rabu, 16 Desember 2009

Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Luar dan Dalam Negeri

KOMPARASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT
DI DESA PASIWARU (BANTEN, INDONESIA) DAN NEGARANEPAL

Oleh:
Harry Kurniawan
071201001
Manajemen Hutan










PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2009




PENDAHULUAN


Latar Belakang
Pembangunan kehutanan yang dilakukan di negara-negara berkembang telah melahirkan berbagai persoalan akut. Mulai dari kerusakan ekologis berupa peng-hancuran hutan alam hingga termarjinalnya masyarakat lokal yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan. Wajah pem-bangunan kehutanan yang eks-ploitatif inilah yang kemudian banyak dikritik setelah melihat berbagai akibat buruk yang diha-dapi banyak negara berkembang.
Social forestry sebagai suatu strategi pembangunan kehutanan hingga saat ini belum mendapat rumusan final dan kata sepakat dari para pihak dan para ahli baik di manca negara maupun di tanah air. Dalam perkembangannya, konsep social forestry menemukan bentuk dan istilah yang beragam di banyak negara.
Banyak program pembangunan masyarakat yang diperkenalkan oleh pemerintah terutama di lahan hutan lindung dalam rangka rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, termasuk yang dimintakan untuk dilaksanakan oleh pihak-pihak swasta, (BUMS) , badan usaha milik negara (BUMN) dihutan produksi. Pada hakekatnya semua program tersebut diarahkan untuk kelestarian fungsi hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan dalam hutan. Dalam konteks tersebut akan diteliti model-model yang diperkenalkan oleh masing-masing pelaku pembangunan kehutanan yaitu oleh swasta (BUMS), Perhutani (BUMN) dan Pemerintah
Kehutanan sosial merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan profesionalisme rimbawan yang tujuan khususnya terletak pada peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam penge-lolaan hutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menga-komodir aspirasi mereka ke dalam pembangunan kehutanan. Foley dan Barnard memberi nama ke-hutanan sosial sebagai Farm and Community Forestry dan mem-punyai tujuan membantu meme-cahkan masalah pemenuhan ke-butuhan kayu pada masyarakat, memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan memelihara lingkungan dimana mereka hidup, dengan jalan menanam pohon pada lahan pertanian mereka yang ada di sekitar desa mereka.Program kehutanan sosial adalah suatu upaya mempercepat tindakan perubahan budaya dalam kaitan dengan tingkah laku sejumlah besar masyarakat, dengan kewajiban mematuhi menanam dan melindungi pohon-pohon.
Kehutanan Masyarakat (Community Forestry) Kehutanan masyarakat atau community forestry (CF) adalah sebuah strategi pembangunan kehutanan yang lahir karena kesadaran akan dampak sosial industrialisasi kehutanan yang cenderung merugikan masyarakat desa hutan. Yang menarik penggagas CF justru ekonom kehutanan yang merasa bersalah karena terlibat dalam inisiatif industrialisasi kehutanan. Orang itu adalah Jack Westoby (Munggoro, 1998). Ia memberikan pernyataan yang menarik sehubungan dengan industrialisasi kehutanan, “Saya sadar bahwa harapan untuk memperoleh keuntungan dan manfaat dari eksploitasi hutan sejak akhir tahun 60 an dan awal 70 an tidak menghasilkan apa-apa. Makin banyak uang terlibat dalam bisnis kehutanan, makin banyak laba yang didapat dan makin banyak pula kondisi hutan buruk (baca : rusak). Praktek demikian ini, seringkali hanya menguntungkan segelintir orang. Keadilan tidak menyebar dan masyarakat sekitar hutan kondisinya masih saja miskin”. Jack Westoby kemudian tercatat sebagai salah seorang yang banyak berperan dalam gagasan tema pokok Kongres Kehutanan Dunia VIII yang diselenggarakan pada tahun 1978 di Jakarta: Forest for People. CF didedikasikan sebagai gagasan untuk meningkatkan keuntungan langsung sumber daya hutan bagi masyarakat pedesaan yang miskin.


Tujuan
Adapun tujuan pembutan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk membandingkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat anatara hutan di Indonesia (Banten) dan hutan di Nepal.
2. Untuk mengetahui cara pengelolaan hutan berbasis masyarakat di dalam dan luar negeri
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kehutanan Masyarakat







KONDISI UMUM


Kondisi Umum Hutan Kemasyarakatan di sekitar Desa Pasirwaru (Banten)
Desa Pasirwaru terletak di Kecamatan Mancak, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Desa ini merupakan salah satu desa hutan yang secara aktif ikut dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) di kabupaten Serang. Tingkat interaksi masyarakat desa Pasirwaru dengan hutan negara sangat tinggi karena sebagian dari wilayah desa ini merupakan hutan negara yang dikelola Perhutani.
Menurut monografi desa terakhir, luas desa adalah 863.556 ha yang terdiri atas: 469 Ha kawasan permukiman, 170.559 ha kawasan pertanian, perkebunan, fasilitas umum serta 224 ha hutan negara yang terdiri dari 15 kampung, 15 RT, 4 RW.
Jumlah penduduk keseluruhan adalah 3.981 orang terdiri dari 907 KK dengan mata pencaharian utama dari sektor pertanian dan perkebunan. Dan ada juga beberapa yang bekerja di luar daerah, 10 orang menjadi TKI di Malaysia dan Arab serta 50 orang bekerja di Jakarta, Tangerang, dan Serang.
Hutan di sekitar desa Pasirwaru adalah hutan pegunungan dataran rendah dengan ketinggian antara 150 – 600 m dpl yang dikelola Perhutani RPH Gunung Pinang, KPH Banten. Hutan Pangkuan Desa Pasirwaru adalah seluas 257,80 ha berada di petak 2 dan 3 dengan kelas hutan TK (Tanah Kosong), KU III, dan HLT (Hutan Lindung Terbatas). Kawasan hutan lindung ini ditetapkan ± sejak tahun 1984 dan pada kawasan ini tidak pernah dilakukan penebangan (produksi kayu). Penetapan status kawasan lindung di wilayah hutan pangkuan desa ini sangat meresahkan masyarakat yang sudah sejak lama menggantungkan hidupnya pada hutan.
Mayoritas penduduk Pasirwaru (± 80%) bermata pencaharian sebagai petani dan pekebun. Rata-rata kepemilikan lahan masyarakat desa Pasirwaru berkisar 600 - 700 m2/KK sehingga mereka tidak dapat mengandalkan hidupnya dari hasil lahan milik. Dan satu-satunya kawasan yang dapat diandalkan adalah kawasan hutan negara berstatus kawasan lindung dengan topografi wilayah berkelas kelerengan landai - curam dan kondisi lapangan yang berbukit-bukit.
Kondisi Umum Hutan Kemasyarakatan Nepal
Nepal sekarang memiliki sekitar 12,000 Kelompok Pengguna Hutan (FUGs) yang telah terbentuk selama periode 14 tahun dengan hampir 1,2 juta anggota rumah tangga, kira-kira 20% dari penduduk negara itu memiliki tanggung jawab untuk mengelola sekitar 850,000 ha kawasan hutan, hampir 16% dari total lahan hutan negara (DOF, 2002).
Pada saat ini di Nepal, rata-rata dua FUGs terbentuk setiap hari dan mereka diberi wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola dan menggunakan sumber daya hutan nasional. The Greater Mekong adalh salah satu daerah di Nepal sebagai Sub-wilayah utama penerima udara dan air dari monsun, dan termasuk beberapa keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Daerah ini sangat beragam dalam hal budaya, pengelolaan sumber daya, pemerintahan dan tekanan.
Hutan masyarakat di dataran rendah dari Nepal
sebagai program kehutanan masyarakat dapat memperbaiki kondisi hutan dan hasil hutan. Ada enam kelompok masyarakat pengguna hutan di Kailali Kanchanpur dan dataran rendah di Nepal. Kelompok tersebut memiliki pengalaman dalam hutan konservasi dan distribusi produk. Beberapa kelompok mempunyai kearifan lokal dalam hal ketersediaan produk hutan dari hutan alam. Lain dengan produk hutan tanaman langka dari mereka sendiri dan bergantung pada hutan yang dikelola pemerintah dan sumber lain untuk memenuhi tuntutan mereka. Peran pemerintah yang bersangkutan dan federasi kelompok akan berperan untuk menganalisis permintaan dan penawaran, dan membuat ketentuan untuk distribusi hasil hutan dalam dan di luar kelompok dan kabupaten.












MODEL KEHUTANAN MASYARAKAT


Model Kehutanan Masyarakat di sekitar Desa Pasirwaru (Banten)
Pembangunan kehutanan yang ada di kawasan ini banyak mengalami kegagalan akibat pencurian, adapun tanah kosong berupa semak belukar biasanya merupakan bekas pembukaan ladang lahan kering yang sudah ditinggalkan. Kondisi lingkungan dan fungsi kawasan lindung ini telah banyak terbantu dengan adanya tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Species) masyarakat di lahannya yang biasanya merupakan jenis tanaman keras penghasil buah. Data sementara Desa Pasirwaru, dari 265 pesanggem yang menggarap lahan seluas 115 ha membudidayakan jenis tanaman : melinjo, cengkeh, petai, durian, pisang, kopi, dan jengkol.
Sejak tahun 2002, di Banten sudah dilakukan penetapan kawasan lindung sebesar 43% berdasarkan Perda RTRWP No. 36/2002, dan alokasi 30 % wilayah sebagai kawasan hutan berdasarkan Perda Pengurusan Hutan No. 41/2002. Secara legalistik upaya konservasi ini memberikan harapan yang baik di kawasan hutan lindung dan produksi yang memungkinkan diperluasnya utility terutama bagi komunitas desa yang memiliki hutan pangkuan. Sayangnya hal ini belum diimbangi dengan praktek yang berlangsung di lapangan.
Berangkat dari persoalan itu, masyarakat menginginkan adanya model pengelolaan kawasan lindung yang pro-petani dimana inti model pengelolaan tersebut adalah masyarakat bisa turut aktif dalam pengelolaan hutan dan masyarakat bisa mempunyai lahan garapan
Desa Pasirwaru mencoba menerapkan sistem jual-beli berbasis telekomunikasi melalui Kelompok LMDH Sinar Pahoman dengan pertimbangan bahwa usaha yang mereka lakukan sebenarnya sudah berjalan, hanya saja dalam sistemnya perlu pembenahan serta penguatan-penguatan dalam jaringan. Adapun pengelolaanya adalah anggota kelompok yang telah mendapat SK dari kepala Desa.



Pengelolanya adalah:
1. PHD (Pendamping Hutan Desa); sebagai pengelola langsung HHBK Tel
2. Kerewed; pemasok dan penginventarisir komoditi
3. Petani hutan; anggota dari sistem HHBK Tel
4. PKKL Banten ; mitra kelompok untuk pemasaran hasil produk
Peran para pihak yang terkait dalam pengembangan hutan yang berbasis masyarakat ini adalah sebagai bagian dari mitra yang punya kepentingan sama serta menunjang proses kelancaran skema HHBK Tel ini maka peranan dari para pihak sangat dibutuhkan.

a. Model Hutan Kemasyarakatan di Nepal
Kehutanan masyarakat telah berkontribusi dalam perbaikan kondisi hutan dan mata pencaharian masyarakat yakni melalui tiga cara yaitu;
- Pembentukan Modal dalam masyarakat pedesaan;
- Kebijakan dan reformasi tata pemerintahan berbagai organisasi dan lembaga;
- Kontribusi dalam proses pemberdayaan masyarakat dan perubahan sosial.
Kehutanan masyarakat telah menjadi sarana untuk meningkatkan kelestarian, sosial, manusia, dan keuangan. Kehutanan masyarakat telah meningkat kohesi sosial, yang telah Meningkatkan modal sosial dari mereka yang sudah tidak berdaya, tertinggal di Isolasi dan dikecualikan dari arus utama proses politik dan sosial.
Banyak FUGs telah melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan masyarakat mereka sendiri. Pembangunan jalan desa, jembatan kecil, membangun masyarakat, sekolah dan Kuil-Kuil adalah contoh yang baik dari modal fisik diciptakan melalui program kehutanan masyarakat.
Kehutanan masyarakat adalah satu-satunya program nasional di negara di mana ribuan Pembentukan Kelembagaan di tingkat komunitas lokal (yaitu FUGs) dan terus menerus membangun kapasitas mereka Sebagai lembaga-lembaga lokal yang telah layak mungkin. Selain itu, perusahaan seperti kelompok bersarang pengguna jaringan dan Federasi Kelompok Pengguna Hutan telah dibentuk untuk menjaga hak-hak dan tanggung jawab pengguna hutan. Penyedia layanan tambahan seperti LSM, badan-badan lokal, badan-badan Sektor swasta telah muncul. Lembaga-lembaga ini sudah mulai untuk berkolaborasi dan Bekerja bersama-sama
Kehutanan masyarakat telah menjadi kendaraan dalam membawa perubahan dalam proses-proses sosial memberdayakan masyarakat miskin dan anggota masyarakat kurang mampu. Dalam beberapa FUGs dibangkitkan kesadaran akan keikutsertaan kelompok yang terpinggirkan dalam mengelola hutan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus kehutanan masyarakat telah membuat kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan partisipasi dari beberapa bagian yang terpinggirkan dari masyarakat.





























ASPEK DAN DAMPAK


Aspek Kehutanan Masyarakat di Hutan Lindung Desa Pasiwaru (Banten)
Sejak tahun 2002, di Banten sudah dilakukan penetapan kawasan lindung sebesar 43% berdasarkan Perda RTRWP No. 36/2002, dan alokasi 30 % wilayah sebagai kawasan hutan berdasarkan Perda Pengurusan Hutan No. 41/2002. Secara legalistik upaya konservasi ini memberikan harapan yang baik di kawasan hutan lindung dan produksi yang memungkinkan diperluasnya utility terutama bagi komunitas desa yang memiliki hutan pangkuan. Sayangnya hal ini belum diimbangi dengan praktek yang berlangsung di lapangan.
Berangkat dari persoalan itu, masyarakat menginginkan adanya model pengelolaan kawasan lindung yang pro-petani dimana inti model pengelolaan tersebut adalah masyarakat bisa turut aktif dalam pengelolaan hutan dan masyarakat bisa mempunyai lahan garapan.
Inisiatif model pengelolaan ini diusulkan melalui LMDH dengan pendampingan dari PKKL-Asketik Banten. Dengan seringnya pertemuan yang dilakukan akhirnya pihak Perhutani memperbolehkan masyarakat untuk ikut mengelola kawasan yang tertuang dalam Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara Masyarakat dengan Perhutani. Sebagai langkah awal Perhutani membuat demplot penanaman mahoni dengan luas 50 Ha. Sedangkan mekanisme pembagian lahan garapan diserahkan ke LMDH.
Jarak tanam yang ditetapkan oleh Perhutani untuk tanaman pokok kehutanan adalah 8 x 8 m tapi kemudian jarak tanam ini diganti 6 x 6 m. Dengan adanya perubahan penetapan jarak tanam ini sebenarnya masyarakat merasa sangat keberatan, karena dengan jarak tanam yang diperkecil berarti jumlah tanaman MTPS akan lebih sedikit. Hal ini akan berpengaruh pada pendapatan penggarap karena hasil HHBK dari tanaman MPTS tersebut tidak seluruhnya menjadi hak penggarap dengan adanya skema bagi hasil antara petani penggarap, LMDH dan Perhutani dengan perbandingan 75:12,5:12,5.



Aspek Kehutanan Masyarakat di Nepal
Sejak pengoperasian Program Kehutanan Masyarakat sejumlah pelatihan, Lokakarya dan pemaparan kunjungan telah dilakukan untuk sejumlah organisasi dan individu di tingkat masyarakat, pemerintah dan organisasi non pemerintah yang telah meningkatkan tingkat pengetahuan dan Keterampilan yang berkaitan dengan Silvikultur hutan, pengembangan masyarakat, organisasi manajemen dan pengembangan Kepemimpinan,semua yang pada dasarnya adalah modal masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan.
Ribuan FUGs telah ditanam dan dilindungi di bukit-bukit gundul, dilaksanakan silvikultur pengelolaan hutan dan operasi, dimanfaatkan dan dipasarkan berbagai hasil hutan untuk mata pencaharian mereka. Kehutanan masyarakat adalah satu-satunya program nasional di negara di mana ribuan pembentukan Kelembagaan di tingkat komunitas lokal (yaitu FUGs) dan terus menerus membangun kapasitas mereka sebagai lembaga-lembaga lokal yang telah layak mungkin. Selain itu, perusahaan seperti kelompok bersarang pengguna jaringan dan Federasi Kelompok Pengguna Hutan telah dibentuk untuk menjaga hak-hak dan tanggung jawab pengguna hutan. Penyedia layanan tambahan seperti LSM, badan-badan lokal, badan-badan Sektor swasta telah muncul. Lembaga-lembaga ini sudah mulai untuk berkolaborasi dan bekerja bersama-sama.
Pejabat dan staf pemerintah, lembaga penyedia layanan, anggota masyarakat dan pemangku kepentingan menjadi semakin sadar tentang isu-isu keadilan. Semua pemangku Kepentingan yang terlibat dalam kehutanan masyarakat harus mulai menyadari Perlunya partisipasi aktif dari kelompok-kelompok marjinal dalam semua tahap perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan, keterlibatan karena mereka akan memiliki efek langsung pada sistem hutan dan masyarakat miskin 'kesejahteraan. Selanjutnya, sebagai peran sebagai pengelola hutan mereka mulai untuk meningkatkan dan dihargai, dampak sistem pada hutan semakin positif.







Dampak
Dampak Kehutanan Masyarakat di sekitar Desa Pasiwaru (Banten)
Adanya pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Desa Pasiwaru Banten ini sangat membuka akses pemasaran hasil hutan yang berdampak positif dalam pertubuhan ekonomi di desa tersebut. Kemudian dengan adanya bantuan-bantuan dari pihak-pihak yang mendukung seperti pihak pemerintah dan pihak swasta pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini dapat berkembang, seperti dari pemerintah yang menediakan lahan sebesar 50 ha dan penyediaan bibit mahoni melalui Perhutani akan dapat menghijaukan lahan yang kosong dan hasilnya dapat dinikmati masyarakat walau dalam jangka waktu yang relative panjang. Dari Dishutbun mampu mendukung dalam penyediaan mesin sabut kelapa
Bahan baku yang melimpah tidak ditunjang teknologi maka kapasitas petani dalam menghasilkan produk akan selalu kalah bersaing, melalui pendanaan APBN Hutbun propinsi memberikan bantuan 1 unit mesin sabut kelapa.
Tidak hanya dari pihak Pemerintah yang mendukung kegiatan ini, dari pihak swasta seperti PT. Dian Niaga memfasilitasi hasil-hasil komoditi petani serta memberikan pelatihan-pelatihan praktis, sehingga terciptanya sumber daya manuasia yang baik dan dapat beradaptasi dalam berbagai kondisi.
Banyak dampak positif yang akan diperoleh apabila pengelolaan hutan berbasis masyarakat dapat berjalan dengan lancar. Karena apabila masyarakat telah turun tangan untuk mengelola hutan dengan sasaran kesejahteraan dan kelestarian, maka masyarakat akan merasa memiliki hutan dan akan menjaganya dengan baik, karena hutan tersebut merupakan sumber penghasilan yang berharga dalam kehidupan masyarakat.
Dampak Kehutanan Masyarakat di Nepal
Proses kehutanan masyarakat telah meningkat kohesi sosial, yang telah meningkatkan sisi sosial dari mereka yang sudah tidak berdaya, dan terisolasi oleh kehidupan politik dan sosial. Sejak pengoperasian Program Kehutanan Masyarakat sejumlah pelatihan, Lokakarya dan pemaparan kunjungan telah dilakukan untuk sejumlah organisasi dan individu di tingkat masyarakat, pemerintah dan organisasi non pemerintah yang telah Meningkatkan tingkat pengetahuan dan Keterampilan yang berkaitan dengan Silvikultur hutan, pengembangan masyarakat, organisasi manajemen dan pengembangan Kepemimpinan
program kehutanan masyarakat sangat membantu dalam akses ekonomi seperti pembangunan jalan desa, jembatan kecil, membangun masyarakat, sekolah dan Kuil-Kuil. Semuanya itu berawal melalui program kehutanan masyarakat. Kehutanan masyarakat telah menjadi kendaraan dalam membawa perubahan dalam proses-proses sosial memberdayakan masyarakat miskin dan anggota masyarakat kurang beruntung. Kehutanan masyarakat telah membuat kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan partisipasi dari beberapa bagian yang terpinggirkan dari masyarakat.





























PEMBELAJARAN

Dalam pengembangan hutan di Desa Pasiwaru (Banten), peran serta masarakat sangat memberikan kontribusi yang besar, mulai dari pengelolaan hutan sampai pelestarian hutan. Semuanya itu tercapai dengan dukungan Pemerintah dan pihak-pihak swasta yang dapat memberikan pengetahuan dan kelengkapan sarana dan prasarana dalam pengelolaan hutan di Desa Pasiwaru (Banten). Dengan adanya pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini diharapkan dapat meningkatkan kepemilikan lahan masyarakat dan adanya akses bagi masyarakat sehingga tidak terjadinya interaksi yang negatif antara masyarakat dengan hutan.
Sama halnya dengan pengelolaan hutan kemasyarakatan yang berada di dataran rendah Nepal yang dapat meningkatkan kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengelola hutan secara lestari dengan mempertimbangkan sisi ekonominya. Di Nepal, kehutanan masyarakat telah meningkat kohesi sosial, yaitu mampu mengajak dan menarik masyarakat yang terkucil atau terisolasi dari proses politik dan sosial untuk dapat mengelola bersama hutan untuk kesejahteraan bersama. Selain itu adanya dukungan pemerintah dalam memfasilitasi proses pengelolaan hutan mulai dari pelatihan lokakarya, pengetahuan usaha, keterampilan dalam budidaya tanaman, pengembangan masyarakat, serat organisasi dan kepemimpinan sangat menjadi factor tercapainya pengelolaan hutan yang lestari.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Nepal dan di Banten memiliki pola pengelolaan yang hampir sama, sebab dalam pelaksanaannya memerlukan suatu partisipasi masyarakat dan dukungan pemerintah dalam tercapainya hutan yang lestari.
Namun pada realitanya pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia masih banyak mengalami hambatan ata masalah-masalah diantaranya dari berbagai aspek:
a. Sosial
- Tidak ada akses penggarapan di lahan Negara
- Kawasan hutan yang rawan adanya pencurian
- Tanah hutan sekitar desa subur tapi tidak bermanfaat bagi masyarakat
b. Ekonomi
- Minimnya penndapatan dan kesejahteraan masyarakat
- Pengolahan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang kurang maksimal
- HHBK belum bisa memberikan kontribusi dalam peningkatan kesejahteraan
c. Ekologi
- Kondisi hutan yang tidak termanfaatkan
- Kekuatiran adanya bencana alam
- Masih banyak lahan kosong (tidak ada tanaman pokok kehutanan)
- Keadaan lahan rata-rata merupakan lahan rawan bencana
- Kegagalan penanaman yang dulu dilakukan
Jadi dalam pengembangan hutan berbasis masyarakat di Banten masih memerlukan perbaikan-perbaikan di beberapa sisi agar tercapai pelaksanaan yang baik.

























KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat harus memperhatikan situasi dan kondisi suatu daerah, baik dari sisi peraturan pemerintah, politik, keadaan sosial masyarakat sekitar hutan, serta keadaan kesuburan tanah. Bila system pengelolaan dapat meminimalisir dampak negative, maka diyakini pengelolaan htan berbasis masyarakat dapat berjalan dengan lancar.
Di Nepal kehutanan masyarakat sudah menjadi peraturan pemerintah yang harus ditaati dan pemerintah Nepal memberikan fasilitas dalam proses pengelolaan tersebut, sehingga pengelolaan hutan berjalan dngan lancar. Sedangkan di Banten masih banyak peraturan pemerintah yang belum terealisasi denga baik, sehingga menjadi salah satu hambatan dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Di Banten dan di Nepal mempunyai proses pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang hampir sama, yakni meningkatkan sarana dan prasarana yang menunjang kelancaran pengeloaan, yang didapatkan dari dukungan masyaakat, pemerintah, dan swasta. Namun di Banten masih banyak hal yang perlu diperbaiki, karena masih banyak hambatan yang berhubungan dengan status lahan dan peraturan pemerintah yang belum terealisasikan.
Di Banten pengelolaan hutan berbasis masayarakat masih belum berjalan dengan semestinya karena masih banyak kebiasaan masyarakat akibat pencurian kayu yang berasal dari hutan lindung, terkadang masyarakat hanya sebagai mesin bagi para makelar kayu yang bersembunyi di balik masyarakat. Selain daripada tu masih ada banyak tanah kosong berupa semak belukar biasanya merupakan bekas pembukaan ladang lahan kering yang sudah ditinggalkan, sebenarnya lahan kosong ini merupakan peluang besar untuk membudidayakan tanaman yang bermanfaat bagi masyarakat dan ekologis. Sedangkan di Nepal, kehutanan masyarakat telah meningkatkan kohesi sosial, yaitu mampu mengajak dan menarik masyarakat yang terkucil atau terisolasi dari proses politik dan sosial untuk dapat mengelola bersama hutan untuk kesejahteraan bersama. Selain itu adanya dukungan pemerintah dalam memfasilitasi proses pengelolaan hutan mulai dari pelatihan lokakarya, pengetahuan usaha, keterampilan dalam budidaya tanaman, pengembangan masyarakat, serat organisasi dan kepemimpinan sangat menjadi factor tercapainya pengelolaan hutan yang lestari.

Saran
Dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang benar adalah dengan melibatkan peran yang aktif dari masyarakan dan pemerintah, saling mendukung dan saling melengkapi, tidak berselisih paham, serta adanya kejelasan status lahan dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dengan demikian tidak ada lagi keraguan dalam mengelola hutan Negara bagi masyarakat di sekitar hutan. Bila hutan telah dikelola dengan baik, maka banyak manfaat yang dapat diperoleh diantaranya adalah pemanfaatan hasil hutan yang memenuhi persyaratan dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat sekitar hutan dengan tidak mengeksploitasi hutan secara besar-besaran, hal dapat berdampak langsung bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sktiar hutan, sehingga dapat menghilangkan anggapan bahwa masyarakat sekitar hutan kurang mendapat perhatian pemerintah. Yang lebih penting lagi adalah kelestarian hutan dapat terjaga, bila hutan telah terjaga maka banyak manfaat yang dapat diperoleh diantaranya adalah siklus hidrologi yang sempurna sebagai pengatur tata air, pengurangan dampak global, pencegah bencana akibat kerusakan hutan, bahkan kedepannya aka ada penjualan karbon ke Negara-negara maju, tetapi saat ini masih dalam proses. Bila hutan dapat dikelola oleh masyarakat secara lestari, maka dari sisi ekonomi dan sisi ekologi akan terjaga dengan baik, demi keutuhan sebuah Negara.

















DAFTAR PUSTAKA


Anonimous. 2009. Kawasan Lindung yang Bermanfaat bagi Masyarakat (Desa Pasirwaru, Kecamatan Mancak, Kabupaten Serang, Banten. Sumber : (http://www.infojawa.or).
DOF (2002) Community Forestry Programme in Nepal (Samudayik Van Vikas Karyakram) in Our Forests (Hamro Van). Annual Progress Report of the Department of Forests, Kathamdnu, Nepal.
Gilmour, D.A. and R.J. Fisher (1991) Villagers, Forest and Foresters: The Philosophy, Process and Practice of Community Forestry in Nepal Kathmandu: Sahayogi Press.
Pokharel, B.K. Contribution of Community Forestry to People's Livelihoods
and Forest Sustainability: Experience from Nepal. Sumber :(http://www.wrm.org.uy/countries/Asia/Nepal.html).

Minggu, 06 Desember 2009

AGRIBISNIS GULA AREN


Usaha gula aren di Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan untuk dikembangkan. Ini dapat diketahui dari tingginya permintaan baik di dalam negeri maupun di luar negeri, khususnya untuk jenis gula semut, yang seringkali sulit dipenuhi. Berdasarkan survei, sebuah industri kecil dalam sebulan dapat memperoleh pesanan sebesar 15 – 25 ton. Pesanan tersebut sampai saat ini belum mampu dipenuhi akibat keterbatasan pasokan dan kurangnya modal. Terkait dengan permintaan dalam negeri, kebutuhan gula semut terbesar datang dari industri makanan dan obat yang tersebar di sekitar Tangerang. Sementara untuk pasar lokal, permintaan tertinggi terjadi pada saat dan menjelang bulan puasa Ramadhan. Sedangkan untuk permintaan ekspor, banyak datang dari Jerman, Swiss dan Jepang.

Selain itu, aren termasuk pohon serbaguna. Mirip kelapa karena hampir semua bagiannya bisa dimanfaatkan. Sebut saja mulai dari tandan bunga, buah, daun, batang, akar sampai ijuknya, dan yang dijadikan bahan baku gula cetak dan gula semut adalah tandan bunga jantan yang disadap niranya.

Keunggulan lain dari gula aren ini adalah merupakan produk sehat dan aman untuk dikonsumsi sehari-hari ketimbang gula pasir misalnya. "Kadar manisnya 80% lebih rendah dibandingkan dengan gula pasir.

Persaingan antar usaha gula aren di lokasi penelitian relatif masih rendah karena jumlah pengusaha gula aren tidak terlalu banyak. Dengan demikian, jumlah penawaran masih lebih rendah dibanding permintaannya, terutama pada saat permintaan tinggi yaitu pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri, dimana pengusaha seringkali tidak mampu memenuhi permintaan pasar.

Harga gula aren ditentukan oleh musim, dimana musim hujan saat produksi nira melimpah harga turun, sebaliknya saat musim kemarau saat produksi nira sedang berkurang harga naik. Secara umum fluktuasi harga per kg untuk gula aren cetak berkisar antara Rp3000,- - Rp9000,-, sedangkan gula aren semut berkisar Rp7000,- - Rp.10.000,-.

Kendala pemasaran yang masih dihadapi oleh pengusaha dalam pemasaran produk gula aren, antara lain:

a. Kurangnya akses terhadap informasi pasar, terutama tentang harga, sehingga pengrajin sangat tergantung pada harga yang diberikan oleh pengumpul (posisi tawar pengrajin rendah).

b. Masyarakat masih kurang mengenal produk gula aren semut sebagai subtitusi gula pasir tebu.Hal ini menyebabkan gula aren semut lebih dikenal untuk keperluaan industri daripada untuk konsumsi. Padahal, peluang pasar untuk memenuhi kebutuhan pemanis pada pasar konsumsirelatif besar.

Kendala pemasaran tersebut akan hilang dengan berjalannya waktu dan berkembangnya pengetahuan masyarakat. Jadi bisnis gula aren mempunyai prospek yang menjanjikan, selain dari keuntungan materi dari sisi ekonomi, budidaya aren sebagai sumber bahan baku juga dapat memberikan fungsi lingkungan sebagai daerah hijau dari sisi ekologi.