Rabu, 16 Desember 2009

Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Luar dan Dalam Negeri

KOMPARASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT
DI DESA PASIWARU (BANTEN, INDONESIA) DAN NEGARANEPAL

Oleh:
Harry Kurniawan
071201001
Manajemen Hutan










PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2009




PENDAHULUAN


Latar Belakang
Pembangunan kehutanan yang dilakukan di negara-negara berkembang telah melahirkan berbagai persoalan akut. Mulai dari kerusakan ekologis berupa peng-hancuran hutan alam hingga termarjinalnya masyarakat lokal yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan. Wajah pem-bangunan kehutanan yang eks-ploitatif inilah yang kemudian banyak dikritik setelah melihat berbagai akibat buruk yang diha-dapi banyak negara berkembang.
Social forestry sebagai suatu strategi pembangunan kehutanan hingga saat ini belum mendapat rumusan final dan kata sepakat dari para pihak dan para ahli baik di manca negara maupun di tanah air. Dalam perkembangannya, konsep social forestry menemukan bentuk dan istilah yang beragam di banyak negara.
Banyak program pembangunan masyarakat yang diperkenalkan oleh pemerintah terutama di lahan hutan lindung dalam rangka rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, termasuk yang dimintakan untuk dilaksanakan oleh pihak-pihak swasta, (BUMS) , badan usaha milik negara (BUMN) dihutan produksi. Pada hakekatnya semua program tersebut diarahkan untuk kelestarian fungsi hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan dalam hutan. Dalam konteks tersebut akan diteliti model-model yang diperkenalkan oleh masing-masing pelaku pembangunan kehutanan yaitu oleh swasta (BUMS), Perhutani (BUMN) dan Pemerintah
Kehutanan sosial merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan profesionalisme rimbawan yang tujuan khususnya terletak pada peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam penge-lolaan hutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menga-komodir aspirasi mereka ke dalam pembangunan kehutanan. Foley dan Barnard memberi nama ke-hutanan sosial sebagai Farm and Community Forestry dan mem-punyai tujuan membantu meme-cahkan masalah pemenuhan ke-butuhan kayu pada masyarakat, memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan memelihara lingkungan dimana mereka hidup, dengan jalan menanam pohon pada lahan pertanian mereka yang ada di sekitar desa mereka.Program kehutanan sosial adalah suatu upaya mempercepat tindakan perubahan budaya dalam kaitan dengan tingkah laku sejumlah besar masyarakat, dengan kewajiban mematuhi menanam dan melindungi pohon-pohon.
Kehutanan Masyarakat (Community Forestry) Kehutanan masyarakat atau community forestry (CF) adalah sebuah strategi pembangunan kehutanan yang lahir karena kesadaran akan dampak sosial industrialisasi kehutanan yang cenderung merugikan masyarakat desa hutan. Yang menarik penggagas CF justru ekonom kehutanan yang merasa bersalah karena terlibat dalam inisiatif industrialisasi kehutanan. Orang itu adalah Jack Westoby (Munggoro, 1998). Ia memberikan pernyataan yang menarik sehubungan dengan industrialisasi kehutanan, “Saya sadar bahwa harapan untuk memperoleh keuntungan dan manfaat dari eksploitasi hutan sejak akhir tahun 60 an dan awal 70 an tidak menghasilkan apa-apa. Makin banyak uang terlibat dalam bisnis kehutanan, makin banyak laba yang didapat dan makin banyak pula kondisi hutan buruk (baca : rusak). Praktek demikian ini, seringkali hanya menguntungkan segelintir orang. Keadilan tidak menyebar dan masyarakat sekitar hutan kondisinya masih saja miskin”. Jack Westoby kemudian tercatat sebagai salah seorang yang banyak berperan dalam gagasan tema pokok Kongres Kehutanan Dunia VIII yang diselenggarakan pada tahun 1978 di Jakarta: Forest for People. CF didedikasikan sebagai gagasan untuk meningkatkan keuntungan langsung sumber daya hutan bagi masyarakat pedesaan yang miskin.


Tujuan
Adapun tujuan pembutan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk membandingkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat anatara hutan di Indonesia (Banten) dan hutan di Nepal.
2. Untuk mengetahui cara pengelolaan hutan berbasis masyarakat di dalam dan luar negeri
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kehutanan Masyarakat







KONDISI UMUM


Kondisi Umum Hutan Kemasyarakatan di sekitar Desa Pasirwaru (Banten)
Desa Pasirwaru terletak di Kecamatan Mancak, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Desa ini merupakan salah satu desa hutan yang secara aktif ikut dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) di kabupaten Serang. Tingkat interaksi masyarakat desa Pasirwaru dengan hutan negara sangat tinggi karena sebagian dari wilayah desa ini merupakan hutan negara yang dikelola Perhutani.
Menurut monografi desa terakhir, luas desa adalah 863.556 ha yang terdiri atas: 469 Ha kawasan permukiman, 170.559 ha kawasan pertanian, perkebunan, fasilitas umum serta 224 ha hutan negara yang terdiri dari 15 kampung, 15 RT, 4 RW.
Jumlah penduduk keseluruhan adalah 3.981 orang terdiri dari 907 KK dengan mata pencaharian utama dari sektor pertanian dan perkebunan. Dan ada juga beberapa yang bekerja di luar daerah, 10 orang menjadi TKI di Malaysia dan Arab serta 50 orang bekerja di Jakarta, Tangerang, dan Serang.
Hutan di sekitar desa Pasirwaru adalah hutan pegunungan dataran rendah dengan ketinggian antara 150 – 600 m dpl yang dikelola Perhutani RPH Gunung Pinang, KPH Banten. Hutan Pangkuan Desa Pasirwaru adalah seluas 257,80 ha berada di petak 2 dan 3 dengan kelas hutan TK (Tanah Kosong), KU III, dan HLT (Hutan Lindung Terbatas). Kawasan hutan lindung ini ditetapkan ± sejak tahun 1984 dan pada kawasan ini tidak pernah dilakukan penebangan (produksi kayu). Penetapan status kawasan lindung di wilayah hutan pangkuan desa ini sangat meresahkan masyarakat yang sudah sejak lama menggantungkan hidupnya pada hutan.
Mayoritas penduduk Pasirwaru (± 80%) bermata pencaharian sebagai petani dan pekebun. Rata-rata kepemilikan lahan masyarakat desa Pasirwaru berkisar 600 - 700 m2/KK sehingga mereka tidak dapat mengandalkan hidupnya dari hasil lahan milik. Dan satu-satunya kawasan yang dapat diandalkan adalah kawasan hutan negara berstatus kawasan lindung dengan topografi wilayah berkelas kelerengan landai - curam dan kondisi lapangan yang berbukit-bukit.
Kondisi Umum Hutan Kemasyarakatan Nepal
Nepal sekarang memiliki sekitar 12,000 Kelompok Pengguna Hutan (FUGs) yang telah terbentuk selama periode 14 tahun dengan hampir 1,2 juta anggota rumah tangga, kira-kira 20% dari penduduk negara itu memiliki tanggung jawab untuk mengelola sekitar 850,000 ha kawasan hutan, hampir 16% dari total lahan hutan negara (DOF, 2002).
Pada saat ini di Nepal, rata-rata dua FUGs terbentuk setiap hari dan mereka diberi wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola dan menggunakan sumber daya hutan nasional. The Greater Mekong adalh salah satu daerah di Nepal sebagai Sub-wilayah utama penerima udara dan air dari monsun, dan termasuk beberapa keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Daerah ini sangat beragam dalam hal budaya, pengelolaan sumber daya, pemerintahan dan tekanan.
Hutan masyarakat di dataran rendah dari Nepal
sebagai program kehutanan masyarakat dapat memperbaiki kondisi hutan dan hasil hutan. Ada enam kelompok masyarakat pengguna hutan di Kailali Kanchanpur dan dataran rendah di Nepal. Kelompok tersebut memiliki pengalaman dalam hutan konservasi dan distribusi produk. Beberapa kelompok mempunyai kearifan lokal dalam hal ketersediaan produk hutan dari hutan alam. Lain dengan produk hutan tanaman langka dari mereka sendiri dan bergantung pada hutan yang dikelola pemerintah dan sumber lain untuk memenuhi tuntutan mereka. Peran pemerintah yang bersangkutan dan federasi kelompok akan berperan untuk menganalisis permintaan dan penawaran, dan membuat ketentuan untuk distribusi hasil hutan dalam dan di luar kelompok dan kabupaten.












MODEL KEHUTANAN MASYARAKAT


Model Kehutanan Masyarakat di sekitar Desa Pasirwaru (Banten)
Pembangunan kehutanan yang ada di kawasan ini banyak mengalami kegagalan akibat pencurian, adapun tanah kosong berupa semak belukar biasanya merupakan bekas pembukaan ladang lahan kering yang sudah ditinggalkan. Kondisi lingkungan dan fungsi kawasan lindung ini telah banyak terbantu dengan adanya tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Species) masyarakat di lahannya yang biasanya merupakan jenis tanaman keras penghasil buah. Data sementara Desa Pasirwaru, dari 265 pesanggem yang menggarap lahan seluas 115 ha membudidayakan jenis tanaman : melinjo, cengkeh, petai, durian, pisang, kopi, dan jengkol.
Sejak tahun 2002, di Banten sudah dilakukan penetapan kawasan lindung sebesar 43% berdasarkan Perda RTRWP No. 36/2002, dan alokasi 30 % wilayah sebagai kawasan hutan berdasarkan Perda Pengurusan Hutan No. 41/2002. Secara legalistik upaya konservasi ini memberikan harapan yang baik di kawasan hutan lindung dan produksi yang memungkinkan diperluasnya utility terutama bagi komunitas desa yang memiliki hutan pangkuan. Sayangnya hal ini belum diimbangi dengan praktek yang berlangsung di lapangan.
Berangkat dari persoalan itu, masyarakat menginginkan adanya model pengelolaan kawasan lindung yang pro-petani dimana inti model pengelolaan tersebut adalah masyarakat bisa turut aktif dalam pengelolaan hutan dan masyarakat bisa mempunyai lahan garapan
Desa Pasirwaru mencoba menerapkan sistem jual-beli berbasis telekomunikasi melalui Kelompok LMDH Sinar Pahoman dengan pertimbangan bahwa usaha yang mereka lakukan sebenarnya sudah berjalan, hanya saja dalam sistemnya perlu pembenahan serta penguatan-penguatan dalam jaringan. Adapun pengelolaanya adalah anggota kelompok yang telah mendapat SK dari kepala Desa.



Pengelolanya adalah:
1. PHD (Pendamping Hutan Desa); sebagai pengelola langsung HHBK Tel
2. Kerewed; pemasok dan penginventarisir komoditi
3. Petani hutan; anggota dari sistem HHBK Tel
4. PKKL Banten ; mitra kelompok untuk pemasaran hasil produk
Peran para pihak yang terkait dalam pengembangan hutan yang berbasis masyarakat ini adalah sebagai bagian dari mitra yang punya kepentingan sama serta menunjang proses kelancaran skema HHBK Tel ini maka peranan dari para pihak sangat dibutuhkan.

a. Model Hutan Kemasyarakatan di Nepal
Kehutanan masyarakat telah berkontribusi dalam perbaikan kondisi hutan dan mata pencaharian masyarakat yakni melalui tiga cara yaitu;
- Pembentukan Modal dalam masyarakat pedesaan;
- Kebijakan dan reformasi tata pemerintahan berbagai organisasi dan lembaga;
- Kontribusi dalam proses pemberdayaan masyarakat dan perubahan sosial.
Kehutanan masyarakat telah menjadi sarana untuk meningkatkan kelestarian, sosial, manusia, dan keuangan. Kehutanan masyarakat telah meningkat kohesi sosial, yang telah Meningkatkan modal sosial dari mereka yang sudah tidak berdaya, tertinggal di Isolasi dan dikecualikan dari arus utama proses politik dan sosial.
Banyak FUGs telah melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan masyarakat mereka sendiri. Pembangunan jalan desa, jembatan kecil, membangun masyarakat, sekolah dan Kuil-Kuil adalah contoh yang baik dari modal fisik diciptakan melalui program kehutanan masyarakat.
Kehutanan masyarakat adalah satu-satunya program nasional di negara di mana ribuan Pembentukan Kelembagaan di tingkat komunitas lokal (yaitu FUGs) dan terus menerus membangun kapasitas mereka Sebagai lembaga-lembaga lokal yang telah layak mungkin. Selain itu, perusahaan seperti kelompok bersarang pengguna jaringan dan Federasi Kelompok Pengguna Hutan telah dibentuk untuk menjaga hak-hak dan tanggung jawab pengguna hutan. Penyedia layanan tambahan seperti LSM, badan-badan lokal, badan-badan Sektor swasta telah muncul. Lembaga-lembaga ini sudah mulai untuk berkolaborasi dan Bekerja bersama-sama
Kehutanan masyarakat telah menjadi kendaraan dalam membawa perubahan dalam proses-proses sosial memberdayakan masyarakat miskin dan anggota masyarakat kurang mampu. Dalam beberapa FUGs dibangkitkan kesadaran akan keikutsertaan kelompok yang terpinggirkan dalam mengelola hutan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus kehutanan masyarakat telah membuat kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan partisipasi dari beberapa bagian yang terpinggirkan dari masyarakat.





























ASPEK DAN DAMPAK


Aspek Kehutanan Masyarakat di Hutan Lindung Desa Pasiwaru (Banten)
Sejak tahun 2002, di Banten sudah dilakukan penetapan kawasan lindung sebesar 43% berdasarkan Perda RTRWP No. 36/2002, dan alokasi 30 % wilayah sebagai kawasan hutan berdasarkan Perda Pengurusan Hutan No. 41/2002. Secara legalistik upaya konservasi ini memberikan harapan yang baik di kawasan hutan lindung dan produksi yang memungkinkan diperluasnya utility terutama bagi komunitas desa yang memiliki hutan pangkuan. Sayangnya hal ini belum diimbangi dengan praktek yang berlangsung di lapangan.
Berangkat dari persoalan itu, masyarakat menginginkan adanya model pengelolaan kawasan lindung yang pro-petani dimana inti model pengelolaan tersebut adalah masyarakat bisa turut aktif dalam pengelolaan hutan dan masyarakat bisa mempunyai lahan garapan.
Inisiatif model pengelolaan ini diusulkan melalui LMDH dengan pendampingan dari PKKL-Asketik Banten. Dengan seringnya pertemuan yang dilakukan akhirnya pihak Perhutani memperbolehkan masyarakat untuk ikut mengelola kawasan yang tertuang dalam Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara Masyarakat dengan Perhutani. Sebagai langkah awal Perhutani membuat demplot penanaman mahoni dengan luas 50 Ha. Sedangkan mekanisme pembagian lahan garapan diserahkan ke LMDH.
Jarak tanam yang ditetapkan oleh Perhutani untuk tanaman pokok kehutanan adalah 8 x 8 m tapi kemudian jarak tanam ini diganti 6 x 6 m. Dengan adanya perubahan penetapan jarak tanam ini sebenarnya masyarakat merasa sangat keberatan, karena dengan jarak tanam yang diperkecil berarti jumlah tanaman MTPS akan lebih sedikit. Hal ini akan berpengaruh pada pendapatan penggarap karena hasil HHBK dari tanaman MPTS tersebut tidak seluruhnya menjadi hak penggarap dengan adanya skema bagi hasil antara petani penggarap, LMDH dan Perhutani dengan perbandingan 75:12,5:12,5.



Aspek Kehutanan Masyarakat di Nepal
Sejak pengoperasian Program Kehutanan Masyarakat sejumlah pelatihan, Lokakarya dan pemaparan kunjungan telah dilakukan untuk sejumlah organisasi dan individu di tingkat masyarakat, pemerintah dan organisasi non pemerintah yang telah meningkatkan tingkat pengetahuan dan Keterampilan yang berkaitan dengan Silvikultur hutan, pengembangan masyarakat, organisasi manajemen dan pengembangan Kepemimpinan,semua yang pada dasarnya adalah modal masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan.
Ribuan FUGs telah ditanam dan dilindungi di bukit-bukit gundul, dilaksanakan silvikultur pengelolaan hutan dan operasi, dimanfaatkan dan dipasarkan berbagai hasil hutan untuk mata pencaharian mereka. Kehutanan masyarakat adalah satu-satunya program nasional di negara di mana ribuan pembentukan Kelembagaan di tingkat komunitas lokal (yaitu FUGs) dan terus menerus membangun kapasitas mereka sebagai lembaga-lembaga lokal yang telah layak mungkin. Selain itu, perusahaan seperti kelompok bersarang pengguna jaringan dan Federasi Kelompok Pengguna Hutan telah dibentuk untuk menjaga hak-hak dan tanggung jawab pengguna hutan. Penyedia layanan tambahan seperti LSM, badan-badan lokal, badan-badan Sektor swasta telah muncul. Lembaga-lembaga ini sudah mulai untuk berkolaborasi dan bekerja bersama-sama.
Pejabat dan staf pemerintah, lembaga penyedia layanan, anggota masyarakat dan pemangku kepentingan menjadi semakin sadar tentang isu-isu keadilan. Semua pemangku Kepentingan yang terlibat dalam kehutanan masyarakat harus mulai menyadari Perlunya partisipasi aktif dari kelompok-kelompok marjinal dalam semua tahap perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan, keterlibatan karena mereka akan memiliki efek langsung pada sistem hutan dan masyarakat miskin 'kesejahteraan. Selanjutnya, sebagai peran sebagai pengelola hutan mereka mulai untuk meningkatkan dan dihargai, dampak sistem pada hutan semakin positif.







Dampak
Dampak Kehutanan Masyarakat di sekitar Desa Pasiwaru (Banten)
Adanya pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Desa Pasiwaru Banten ini sangat membuka akses pemasaran hasil hutan yang berdampak positif dalam pertubuhan ekonomi di desa tersebut. Kemudian dengan adanya bantuan-bantuan dari pihak-pihak yang mendukung seperti pihak pemerintah dan pihak swasta pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini dapat berkembang, seperti dari pemerintah yang menediakan lahan sebesar 50 ha dan penyediaan bibit mahoni melalui Perhutani akan dapat menghijaukan lahan yang kosong dan hasilnya dapat dinikmati masyarakat walau dalam jangka waktu yang relative panjang. Dari Dishutbun mampu mendukung dalam penyediaan mesin sabut kelapa
Bahan baku yang melimpah tidak ditunjang teknologi maka kapasitas petani dalam menghasilkan produk akan selalu kalah bersaing, melalui pendanaan APBN Hutbun propinsi memberikan bantuan 1 unit mesin sabut kelapa.
Tidak hanya dari pihak Pemerintah yang mendukung kegiatan ini, dari pihak swasta seperti PT. Dian Niaga memfasilitasi hasil-hasil komoditi petani serta memberikan pelatihan-pelatihan praktis, sehingga terciptanya sumber daya manuasia yang baik dan dapat beradaptasi dalam berbagai kondisi.
Banyak dampak positif yang akan diperoleh apabila pengelolaan hutan berbasis masyarakat dapat berjalan dengan lancar. Karena apabila masyarakat telah turun tangan untuk mengelola hutan dengan sasaran kesejahteraan dan kelestarian, maka masyarakat akan merasa memiliki hutan dan akan menjaganya dengan baik, karena hutan tersebut merupakan sumber penghasilan yang berharga dalam kehidupan masyarakat.
Dampak Kehutanan Masyarakat di Nepal
Proses kehutanan masyarakat telah meningkat kohesi sosial, yang telah meningkatkan sisi sosial dari mereka yang sudah tidak berdaya, dan terisolasi oleh kehidupan politik dan sosial. Sejak pengoperasian Program Kehutanan Masyarakat sejumlah pelatihan, Lokakarya dan pemaparan kunjungan telah dilakukan untuk sejumlah organisasi dan individu di tingkat masyarakat, pemerintah dan organisasi non pemerintah yang telah Meningkatkan tingkat pengetahuan dan Keterampilan yang berkaitan dengan Silvikultur hutan, pengembangan masyarakat, organisasi manajemen dan pengembangan Kepemimpinan
program kehutanan masyarakat sangat membantu dalam akses ekonomi seperti pembangunan jalan desa, jembatan kecil, membangun masyarakat, sekolah dan Kuil-Kuil. Semuanya itu berawal melalui program kehutanan masyarakat. Kehutanan masyarakat telah menjadi kendaraan dalam membawa perubahan dalam proses-proses sosial memberdayakan masyarakat miskin dan anggota masyarakat kurang beruntung. Kehutanan masyarakat telah membuat kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan partisipasi dari beberapa bagian yang terpinggirkan dari masyarakat.





























PEMBELAJARAN

Dalam pengembangan hutan di Desa Pasiwaru (Banten), peran serta masarakat sangat memberikan kontribusi yang besar, mulai dari pengelolaan hutan sampai pelestarian hutan. Semuanya itu tercapai dengan dukungan Pemerintah dan pihak-pihak swasta yang dapat memberikan pengetahuan dan kelengkapan sarana dan prasarana dalam pengelolaan hutan di Desa Pasiwaru (Banten). Dengan adanya pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini diharapkan dapat meningkatkan kepemilikan lahan masyarakat dan adanya akses bagi masyarakat sehingga tidak terjadinya interaksi yang negatif antara masyarakat dengan hutan.
Sama halnya dengan pengelolaan hutan kemasyarakatan yang berada di dataran rendah Nepal yang dapat meningkatkan kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengelola hutan secara lestari dengan mempertimbangkan sisi ekonominya. Di Nepal, kehutanan masyarakat telah meningkat kohesi sosial, yaitu mampu mengajak dan menarik masyarakat yang terkucil atau terisolasi dari proses politik dan sosial untuk dapat mengelola bersama hutan untuk kesejahteraan bersama. Selain itu adanya dukungan pemerintah dalam memfasilitasi proses pengelolaan hutan mulai dari pelatihan lokakarya, pengetahuan usaha, keterampilan dalam budidaya tanaman, pengembangan masyarakat, serat organisasi dan kepemimpinan sangat menjadi factor tercapainya pengelolaan hutan yang lestari.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Nepal dan di Banten memiliki pola pengelolaan yang hampir sama, sebab dalam pelaksanaannya memerlukan suatu partisipasi masyarakat dan dukungan pemerintah dalam tercapainya hutan yang lestari.
Namun pada realitanya pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia masih banyak mengalami hambatan ata masalah-masalah diantaranya dari berbagai aspek:
a. Sosial
- Tidak ada akses penggarapan di lahan Negara
- Kawasan hutan yang rawan adanya pencurian
- Tanah hutan sekitar desa subur tapi tidak bermanfaat bagi masyarakat
b. Ekonomi
- Minimnya penndapatan dan kesejahteraan masyarakat
- Pengolahan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang kurang maksimal
- HHBK belum bisa memberikan kontribusi dalam peningkatan kesejahteraan
c. Ekologi
- Kondisi hutan yang tidak termanfaatkan
- Kekuatiran adanya bencana alam
- Masih banyak lahan kosong (tidak ada tanaman pokok kehutanan)
- Keadaan lahan rata-rata merupakan lahan rawan bencana
- Kegagalan penanaman yang dulu dilakukan
Jadi dalam pengembangan hutan berbasis masyarakat di Banten masih memerlukan perbaikan-perbaikan di beberapa sisi agar tercapai pelaksanaan yang baik.

























KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat harus memperhatikan situasi dan kondisi suatu daerah, baik dari sisi peraturan pemerintah, politik, keadaan sosial masyarakat sekitar hutan, serta keadaan kesuburan tanah. Bila system pengelolaan dapat meminimalisir dampak negative, maka diyakini pengelolaan htan berbasis masyarakat dapat berjalan dengan lancar.
Di Nepal kehutanan masyarakat sudah menjadi peraturan pemerintah yang harus ditaati dan pemerintah Nepal memberikan fasilitas dalam proses pengelolaan tersebut, sehingga pengelolaan hutan berjalan dngan lancar. Sedangkan di Banten masih banyak peraturan pemerintah yang belum terealisasi denga baik, sehingga menjadi salah satu hambatan dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Di Banten dan di Nepal mempunyai proses pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang hampir sama, yakni meningkatkan sarana dan prasarana yang menunjang kelancaran pengeloaan, yang didapatkan dari dukungan masyaakat, pemerintah, dan swasta. Namun di Banten masih banyak hal yang perlu diperbaiki, karena masih banyak hambatan yang berhubungan dengan status lahan dan peraturan pemerintah yang belum terealisasikan.
Di Banten pengelolaan hutan berbasis masayarakat masih belum berjalan dengan semestinya karena masih banyak kebiasaan masyarakat akibat pencurian kayu yang berasal dari hutan lindung, terkadang masyarakat hanya sebagai mesin bagi para makelar kayu yang bersembunyi di balik masyarakat. Selain daripada tu masih ada banyak tanah kosong berupa semak belukar biasanya merupakan bekas pembukaan ladang lahan kering yang sudah ditinggalkan, sebenarnya lahan kosong ini merupakan peluang besar untuk membudidayakan tanaman yang bermanfaat bagi masyarakat dan ekologis. Sedangkan di Nepal, kehutanan masyarakat telah meningkatkan kohesi sosial, yaitu mampu mengajak dan menarik masyarakat yang terkucil atau terisolasi dari proses politik dan sosial untuk dapat mengelola bersama hutan untuk kesejahteraan bersama. Selain itu adanya dukungan pemerintah dalam memfasilitasi proses pengelolaan hutan mulai dari pelatihan lokakarya, pengetahuan usaha, keterampilan dalam budidaya tanaman, pengembangan masyarakat, serat organisasi dan kepemimpinan sangat menjadi factor tercapainya pengelolaan hutan yang lestari.

Saran
Dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang benar adalah dengan melibatkan peran yang aktif dari masyarakan dan pemerintah, saling mendukung dan saling melengkapi, tidak berselisih paham, serta adanya kejelasan status lahan dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dengan demikian tidak ada lagi keraguan dalam mengelola hutan Negara bagi masyarakat di sekitar hutan. Bila hutan telah dikelola dengan baik, maka banyak manfaat yang dapat diperoleh diantaranya adalah pemanfaatan hasil hutan yang memenuhi persyaratan dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat sekitar hutan dengan tidak mengeksploitasi hutan secara besar-besaran, hal dapat berdampak langsung bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sktiar hutan, sehingga dapat menghilangkan anggapan bahwa masyarakat sekitar hutan kurang mendapat perhatian pemerintah. Yang lebih penting lagi adalah kelestarian hutan dapat terjaga, bila hutan telah terjaga maka banyak manfaat yang dapat diperoleh diantaranya adalah siklus hidrologi yang sempurna sebagai pengatur tata air, pengurangan dampak global, pencegah bencana akibat kerusakan hutan, bahkan kedepannya aka ada penjualan karbon ke Negara-negara maju, tetapi saat ini masih dalam proses. Bila hutan dapat dikelola oleh masyarakat secara lestari, maka dari sisi ekonomi dan sisi ekologi akan terjaga dengan baik, demi keutuhan sebuah Negara.

















DAFTAR PUSTAKA


Anonimous. 2009. Kawasan Lindung yang Bermanfaat bagi Masyarakat (Desa Pasirwaru, Kecamatan Mancak, Kabupaten Serang, Banten. Sumber : (http://www.infojawa.or).
DOF (2002) Community Forestry Programme in Nepal (Samudayik Van Vikas Karyakram) in Our Forests (Hamro Van). Annual Progress Report of the Department of Forests, Kathamdnu, Nepal.
Gilmour, D.A. and R.J. Fisher (1991) Villagers, Forest and Foresters: The Philosophy, Process and Practice of Community Forestry in Nepal Kathmandu: Sahayogi Press.
Pokharel, B.K. Contribution of Community Forestry to People's Livelihoods
and Forest Sustainability: Experience from Nepal. Sumber :(http://www.wrm.org.uy/countries/Asia/Nepal.html).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar