Kamis, 03 Juni 2010

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN ALAM (HPH)

oleh : Harry Kurniawan 071201001 Manajemen Hutan Universitas Sumatera Utara



RENCANA PENGELOLAAN HUTAN SECARA UMUM

Perencanaan hutan adalah suatu bagian proses pengelolaan hutan untuk memperoleh landasan kerja dan landasan hukum agar terwujud ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan hutan sehingga menunjang diperolehnya manfaat hutan yang optimal, berfungsi serbaguna dan pendayagunaan secara lestari.
Unit inventarisasi adalah provinsi untuk mendapatkan data tingkat nasional dilakukan oleh pemerintah pusat setiap 5 tahun informasi SDH yang didapat: tutupan vegetasi, penggunaan lahan, perkiraan tipe dan potensi SDH informasi SDH dipilah berdasarkan fungsi hutannya menurut RTGH atau RTRWP karena cakupan yg luas IHN menggunakan teknik sampling dengan memanfaatkan ketersediaan data penginderaan jauh, dan verifikasi kegiatan lapang yang diperoleh dengan pengamatan SDH pada PSP (permanent sample plots) atau TSP (temporary sample plots) IHN menghasilkan peta berskala 1:250.000
Inventarisasi Hutan untuk Rencana Pengelolaan (IHRP) dilakukan untuk untuk setiap unit atau sub-unit pengelolaan hutan seperti bagian hutan, HPH (hak pengusahaan hutan), HPHTI (hak pengusahaan hutan tanaman industri), areal rencana karya lima tahunan (RKL), dll IHRP dilakukan oleh instansi pemerintah, konsultan (yg diakui DEPHUT) dengan pengawasan BAPLAN dan instansi kehutanan daerah data dari IHRP digunakan untuk menyusun rencana karya pengelolaan tingkat unit pengelolaan dalam jangka waktu tertentu (jangka panjang atau menengah. informasi SDH meliputi: potensi kayu, kondisi permudaan, kondisi topografi, kondisi sosial ekonomi yang relevan. teknik IHRP dengan menggunakan teknologi yg mendukung agar dapat dilakukan dengan efisien dan hasilnya optimal
Inventarisasi Hutan untuk Rencana Operasional (IHRO) dikerjakan untuk keperluan operasional pengelolaan hutan dengan cakupan areal yang terbatas (blok atau bagian unit pengelolaan). IHRO digunakan sebagai dasarpenyusunan rencana kegitan operasional jangka pendek (1 tahun). IHRO utuk mendapatkan data: letak dan luas areal, tipe, komposisi, dan potensi hutan, kondisi topografi, jenis tanah dan geologi, pembukaan wilayah/ aksesibilitas kawasan untuk data volume kayu yang akan ditebang, pengukuran pohon secara sensus (100%) IHRO dilakukan oleh pengelola hutan dan diawasi oleh DEPHUT.
Inventarisasi Hasil Hutan Non Kayu (IHHNK) digunakan untuk mengumpulkan data / informasi tentang potensi dan sebaran hasil hutan non kayu yang bernilai ekonomi tinggi seperti rotan, bambu, sagu, dan nipah IHHNK dilakukan pada areal hutan yang mengandung hasil hutan no kayu murni ataupun merupakan bagian dari ekosistim hutannnya hasil IHHNK digunakan untuk menyusun perencanaan makro nasional dan operasional.
Dalam kegiatan perencanaan hutan, pemerintah menyusun rencana umum kehutanan (RUK) yang berisi: peruntukan penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan di seluruh wilayah Indonesia. Atas dasar RUK disusun rencana pengukuhan hutan, dan rencana penatagunaan hutan.
Untuk setiap provinsi, pengukuhan dan penatagunaan hutan dilaksanakan berdasarkan peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH). Untuk luar Jawa peta RPPH adalah peta TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan).
Dengan tersusunnya RTRWP dan RTRWK, dilakukan pemadu-serasian antara TGHK dengan RTRWP dan RTRWK, sehingga diperoleh TGH (Tata Guna Hutan) yang mempunyai kepastian hukum yang mantap dan menjadi bagian integral dari rencana tata ruang wilayah.Peta TGH menggambarkan deleniasi kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsi hutan yang disusun secara teknis berdasarkan data dan informasi yang tersedia.

Tujuan :
Adapun tujuan pembuatan laporan ini adalah:
Agar mahasiswa mengetahui konsep rencana pengelolaan hutan berdasarkan wilayah, jangka waktu dan fungsi rencana.





RENCANA PENGELOLAAN HUTAN ALAM

Hutan adalah suatu lapangan yang bertumbuhkan pohon-pohon yang merupakan suatu kesatuan hidup alam hayati bersama alam lingkungannya sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 5 Tahun 1967. Selanjutnya dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, definisi hutan yaitu suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Wilayah Indonesia dengan jumlah pulau 17.508 pulau ini memiliki 57% dari luas daratannya berupa hutan atau seluas 108.573.300 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (34 juta hektar), Irian Jaya (33 juta hektar), Sumatera (20 juta hektar) dan sisanya tersebar di berbagai pulau lainnnya (Anonim, 1997). Namun angka itu berbeda dengan laporan World Bank bahwa setelah 35 tahun terjadi deforestasi, hutan Indonesia tinggal 57 juta hektar dan 15% diantaranya terletak di dataran rendah, sisanya di lapangan yang sulit dijangkau dan kawasan payau alluvial (Iskandar, 2000). Fungsi hutan dalam pemeliharaan kualitas lingkungan, yaitu dalam pengaturan tata air, kesuburan tanah, iklim dan kualitas udara, biodiversity (flora dan fauna), tipe vegetasi dan ekosistem. Sifat khas hutan yang lain adalah serbaguna. Secara ekonomis hutan bermanfaat memberi bahan industri kayu, sumber devisa, membuka lapangan kerja dan menaikkan pendapatan nasional. Hutan juga bermanfaat secara ekologis dengan ekosistemnya yang beragam sebagai tempat hunian hewan dan tumbuhan, serta manfaat sosial budaya yang telah dimanfaatkan manusia sejak keberadaannya.
Kelompok yang berkepentingan dengan hutan sebagai sumber ekonomi adalah pemegang HPH, industriawan kayu, pejabat pemerintah yang mengelola instansi perindustrian, perdagangan, pertambangan, trasmigrasi, pemukiman penduduk dan Sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah salah satu sistem pengusahaan hutan di Indonesia dengan para pemegang HPH sebagai pelaksana utama, diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970 dan ditujukan untuk pengusahaan hutan alam. Sedangkan manajemen hutan adalah upaya teknis terhadap sekelompok hutan dalam peningkatan manfaat dari fungsi hutan secara lestari. Walaupun pada saat ini banyak anggapan bahwa manajemen hutan seolah-olah tidak dapat dipisahkan dari sistem HPH, tetapi melalui suatu pengaturan dalam mekanismenya kedua hal itu dapat berjalan secara terpisah. Pada dasarnya sistem HPH merupakan bentuk antisipasi pemerintah setelah dibukanya kran penanaman modal dengan telah dikeluarkannya Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman modal Asing dan Undang-undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, melalui pengaturan pemberian konsesi HPH. Dengan adanya penanaman modal besar (asing dan nasional) untuk eksploitasi hutan, sebagaian besar areal hutan akan dipungut hasilnya oleh perusahaan besar. Untuk menjaga pengusaha kecil dan menengah tidak dimatikan usahanya, Dirjen Kehutanan menetapkan kebijaksanaan dalam pemberian konsesi HPH, bahwa luas areal hhutan yang dieksploitasi di setiap propinsi 70-80% diberikan kepada pengusaha besar sebagai konsesi, dan 20-30% diberikan kepada pengusaha kecil dengan ijin tebang dan persil tebangan .
Rencana Pemanfaatan Hutan (RPH) adalah suatu rencana strategis yang menyediakan konsep untuk rencana operasional berikutnya. Rencana ini merupakan rencana awal yang merupakan bagian dari sistem perencanaan 3-tingkat yang diperlukan untuk mendapatkan Kesepakatan Akhir Pemanfaatan Hutan. Ini adalah rencana jangka panjang yang menguraikan gambaran areal secara umum, sumber daya alam dan masyarakat. Rencana jangka panjang ini dibuat untuk mengatur antara lain mengenai Jatah Tebang Tahunan (JTT), menetapkan mekanisme pemantauan dan kontrol serta termasuk penilaian ekonomis yang sederhana. Pembagian hutan didasarkan pada jenis hutan, siklus kerja dan blok penebangan yang digunakan sebagai referensi perencanaan selanjutnya (Peta Pemanfaatan Hutan).
Selanjutnya RPH berisi rencana rinci untuk jangka waktu ujicoba 3 tahun. Pada akhir jangka waktu masa ujicoba akan dilakukan evaluasi ekternal, dan berdasarkan pada hasil evaluasi tersebut Forest Agreement dapat diterbitkan.
Tujuan pengelolaan keanekaragaman hayati adalah untuk menemukan keseimbangan optimum antara konservasi keanekaragaman hayati dengan kehidupan manusia yang berkelanjutan. Untuk mendukung program pembangunan berkelanjutan, pemerintah, masyarakat, organisasi-organisasi di kalangan usaha, harus bekerja sama untuk mendapatkan cara guna mendukung proses-proses alam esensial yang sangat tergantung pada keanekaragaman hayati. Memelihara sebanyak mungkin keanekara-gaman hayati merupakan tujuan sosial dan merupakan komponen strategis utama dalam pembangunan berkelanjutan.
Proses perencanaan pengelolaan keanekaragaman hayati harus mampu mengidentifikasi kaitan vital antara keanekaragaman hayati, kesehatan lingkungan dan manusia, sumberdaya alam yang menjadi basis kelestarian kehidupan, serta mampu memberikan pilihan baru bagi pembangunan ekonomi dan sosial. Tahapan dalam penyusunan perencanaan strategis pengelolaan keanekaragaman hayati adalah:
a. Pengorganisasian:
menetapkan kerangka kerja kelembagaan, merancang kepemim-pinan, menciptakan pendekatan partisipatif, membentuk tim interdisiplin dan intersektoral, serta mengalokasi pendanaan.
b. Penilaian:
kumpulkan dan evaluasi informasi mengenai status dan kecenderungan sumberdaya keanekaragaman hayati dan sumberdaya biologis nasional, hukum, kebijakan, organisasi, program, dana, dan sumberdaya manusia yang tersedia. Kembangkan tujuan dan sasaran awal, identifikasi kesenjangan, lakukan upaya untuk menutup kesenjangan tersebut dan perkirakan secara kasar biaya dan manfaat serta kebutuhan yang terkait dengan program keanekaragaman hayati nasional.
c. Pengembangan Strategi:
Tetapkan sasaran dan tujuan operasional, lakukan analisis dan pilih tindakan khusus yang dapat menutupi kesenjangan yang diidentifikasi dalam proses penilaian; lakukan proses konsultasi pada pihak terkait (stakeholders) hingga tercapai
konsensus pada target dan mekanisme yang dapat diterima; identifikasi kapasitas pihak-pihak terkait dan apa yang dapat dilakukannya; tuliskan pernyataan mengenai strategi tersebut, meliputi aksi dan investasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang disepakati; pada tingkat ini lakukan konsultasi intensif dengan perencana/sektor konservasi dan pembangunan, termasuk melakukan dialog nasional dengan seluruh pihak yang tertarik.
d. Pengembangan Rencana Aksi:
Tetapkan organisasi (swasta atau LSM) yang akan bertanggungjawab dalam implementasi aktivitas spesifik yang telah ditetapkan dalam strategi, dimana, apa tujuannya dan dengan sumberdaya apa (SDM, kelembagaan, fasilitas dan dana). Tetapkan jangka waktu pelaksanaannya.
e. Implementasi:
Lakukan implementasi aktivitas tersebut. Pihak yang menanggung jawabi implementasi kegiatan disebut sebagai "pelaksana kegiatan keanekaragaman hayati" yang penetapannya telah disepakati.
f. Pemantauan dan Evaluasi:
Tetapkan kriteria dan indikator keberhasilan, tetapkan organisasi yang akan memantau implementasi kegiatan. Pemantauan harus diarahkan untuk mengetahui status dan kecenderungan keanekaragaman hayati (spesies, gen, habitat dan lansekap), implementasi peraturan perundang-undangan, implementasi aksi strategis khusus dan investasi, serta pengembangan kapasitas yang diperlukan (SDM, kelembagaan, fasilitas
g. Pelaporan:
Tetapkan jenis laporan yang diperlukan, siapa yang bertanggungjawab dalam pelaporan, serta sepakati format, isi dan tata waktu pelaporan. Tipe-tipe laporan antara lain: laporan tahunan, kajian nasional, strategi nasional, program aksi, laporan lima tahunan dsb.
Skema sertifikat PHPL Mandatory Menteri Kehutanan merupakan amanat PP Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, yaitu : Penjelasan pasal 81 ayat (3) : Keberhasilan pengelolaan hutan lestari dicerminkan dengan kinerja pengelolaan hutan yang diukur dengan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari yang dibuktikan dengan sertifikat pengelolaan hutan lestari oleh Lembaga Penilai Independen yang diakreditasi oleh Menteri
Berdasarkan PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, Penjelasan pasal 125 ayat (3) : Keberhasilan pengelolaan hutan lestari dicerminkan dengan kinerja pengelolaan hutan yang diukur dengan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari yang dibuktikan dengan sertifikat pengelolaan hutan lestari oleh Menteri, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Lembaga Penilai Independen.
Tujuan Penilaian Kinerja PHAPL dengan skema penilaian mandatory ada 3 (Kepmenhut 208/Kpts-II/2003) :
a. tujuan sertifikasi
b. tujuan perpanjangan ijin IUPHHK
c. tujuan pemberian ijin baru
Profesionalisme tenaga LPI-Mampu memang masih perlu ditingkatkan sehingga seluruh tenaga yang akan melakukan penilaian kinerja PHAPL harus mendapat akreditasi dari LEI; Nota Kesepahaman (MoU) antara Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan dengan Direktur Eksekutif LEI telah ditandatangani 12 Juli 2006.
Kemajuan pelaksanaan Penilaian Kinerja PHAPL Mandatory sejak 2002 s.d 2008 sbb :
a. Penilaian kinerja PHAPL dalam rangka sertifikasi telah dilakukan untuk 201 IUPHHK dengan perincian sbb :






IDENTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN BERDASARKAN WILAYAH, WAKTU, DAN FUNGSI PERENCANAAN

Penatagunaan hutan adalah kegiatan perencanaan tata guna hutan, pemanfaatan hutan dan pengendalian pemanfaatan hutan sesuai dengan fungsinya; yaitu sebagai: Suaka alam ( suaka margasatwa dan cagar alam) kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam) kawasan hutan taman buru kawasan hutan lindung kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, dan hutan produksi yang dapat dikonversi).Rencana penatagunaan hutan adalah rencana yang memuat kegiatan penatagunaan hutan.
Penataan hutan adalah kegiatan penyusunan Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang telah ditata untuk jangka waktu tertentu dalam rangka pemanfaatan hutan secara ekonomis dan berdasarkan asas kelestarian.
Peta RPPH, peta TGHK, peta TGH atau peta yg lain adalah peta makro sebagai dasar dalam proses pengukuhan hutan hingga penetapan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya. kriteria penunjukan sebagai kawasan hutan: bervegetasi hutan belum dibebani hak pertimbangan biogeofisik berperanan dalam perlindungan tata air dan kawasan di bawahnya pertimbangan fenomena alam, perlu dijadikan kawasan konservasi. pertimbangan lain aspek sosial-ekonomis aspek legalitas/ hukum yang berkaitan dengan penguasaan dan penggunaan lahan aspek hankam berbagai kondisi lahan untuk penunjukan dapat dianalisa dengan bantuan data penginderaan jauh, peta rupabumi, peta topografi, peta JOG, peta vegetasi, peta landuse, dan berbagai peta thematik lainnya, data statistik, informasi masyarakat atau aparat pemerintah berbagai hal berkaitan dengan RPPH, dan TGH, pemaduserasian disiapkan oleh tim teknis BPKH yang berada dibawah BAPLAN (Badan Planologi Kehutanan)
Penunjukan wilayah hutan yang tergambar dalam peta RPPH, TGHK, TGH; dengan surat keputusan menteri. mengacu pada pedoman Kepmenhut no 339/Kpts-II/1990 dan no634/Kpts-II/1996. Panitia tatabatas dibentuk mengacu pada Kepmenhut no 400/Kpts-II/1990 dan no 635/Kpts-II/1996 tahapan kegiatan: penyusunan rencana kerja dan peta kerja deleniasi batas mengadakan rapat Panitia Tata Batas (PTB) pemancangan patok batas inventarisasi dan penyelesaian hak pihak ketiga berkait dengan trayek batas dan hutan yangdikukuhkan pengumuman trayek batas pengukuran dan pemetaan serta pemasangan pal batas pembuatan dan penandatanganan berita acara tata batas kegiatan persiapan dan pelaksanaan di lapangan dilaksanan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH). untuk P Jawa dan Madura oleh Biro Perencanaan Hutan Perhutani.
Ruang lingkup: aspek administratif meliputi wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/ kota secara terpadu berdasarkan fungsi utama kawasan hutan.
Penatagunaan hutan memperhatikan lingkungan buatan, alam, sosial dan interaksinya. Kemampuan pembiayaan pembangunan dan kelembagaan
dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat. Perencanaan tataguna hutan: dilakukan dengan proses dan prosedur atas dasar perundangan yg berlaku. Rencana ditinjau lagi minimal 5 tahun sekali sesuai dengan jenis perencanaan mengikuti tata ruang wilayah yang bersangkutan: RTGH Nasional, berjangka 25 tahun RTGH Propvinsi, berjangka 15 tahun RTGH Kabupaten/Kota, berjangka 10 tahun.
Kriteria penetapan fungsi kawasan hutan: kawasan hutan Cagar Alam: dijumpai keanekaragaman jenis dan ekosistem mewakili formasi biota tertentu atau unit penyusunnya kondisi fisik dan biota asli mempunyai ciri khas kawasan. Suaka Margasatwa: habitat margasatwa yang memerlukan konservasi keanekaragaman satwa yang tinggi bagian habitat satwa migran
luasannya mencukupi kawasan taman nasional luasan cuku mendukung proses ekologi secara alami jenis tumbuhan, satwa, gejala alam yang unik, utuh dan alami secara materi atau fisik tidak dapat diubah karena ekonomi atau
pendudukan manusia masih asli atau alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam memungkinkan adanya zonasi (inti, pemanfaatan, penyangga dll) yang mendukung pelestarian ekosistem di dalamnya.






DAFTAR PUSTAKA

Bahruni, Suhendang, E dan Soerianegara, I. 1993. Menguak Permasalahan Pengolahan Hutan Alam Tropis di Indonesia. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Fujo, 1998. Upaya Pengembangan HPH Bina Desa pada PT. Kiani Lestari Kabupaten Kutai. Universitas Winaya Mukti.

Golar, 1999 Perencanaan Partisipatif Masyarat dalam Pembangunan Sektor Kehutanan (studi kasus Pembangunan Hutan Kemasyarakatan di Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Dati II Gowa) (Tesis S2) Universitas Hasanuddin Ujung Pandang .

ITTO, 1992. ITTO Guidelines for the Sustainable Management of Natural Tropical Forest. ITTO Policy Development Serie 1. Yokohama, Japan.

Mubyarto, dkk. 1994. Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal. Aditya Media Yogyakarta.

Priyono, D. J. 2001. Manfaat Ekonomi, Pengembangan Teknologi dan Peningkatan Moral: Tiga pilar penyangga Kelestarian Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar